Romeo
“Oh Romeo, Romeo, why do you have to be Romeo?”
Nick mulai terkikik geli di sampingku. Kami berdiri bersebelahan di depan papan tulis. Walaupun sepertinya dia agak alergi berdiri terlalu dekat denganku. Kenapa dia tertawa sih? Apa karena cara pengucapan Bahasa Inggris-ku yang salah?
“Forget about your father and change your name.”
Sekarang seluruh isi kelas mulai ikut-ikutan tertawa. Ada apa sih? Rasanya aku sudah mengucapkan semua kalimatku dengan benar. Apa yang salah? Tadinya aku gugup. Sekarang aku ketakutan. Kepercayaan diriku mulai runtuh.
“Or… Or else… Or else if you won’t change your name…”
Sekarang Nick jelas-jelas tertawa keras di sebelahku diiringi dengan paduan tawa yang membahana dari seluruh penjuru kelas. Ya ampun. Aku malu sekali. Apa yang aku pikirkan tadi sih?! Buat apa aku menawarkan diri maju ke depan kelas untuk memerankan Juliet di kelas Bahasa Inggris? Hanya untuk sedikit nilai tambahan! Apa aku yang terlalu ambisius? Aku hanya tidak mau nilaiku dikalahkan oleh Budi yang sekarang menduduki peringkat kedua. Aku hanya ingin mempertahankan posisi juara kelasku.
Tapi aku baru sadar sekarang. Apalah artinya mendapat sedikit nilai tambahan jika harus dipermalukan seperti ini. Tanpa aku harus mengatakan sepatah kata pun mereka sudah selalu mencibirku di belakangku. Dan sekarang mereka mencibirku di hadapanku.
Oh, Jacklyn! Wrong decision! seruku pada diriku sendiri.
Tidak ada yang bisa menyelamatkan aku dari situasi ini. Aku hanya ingin segera menyelesaikan tugas ini dan kembali ke tempat persembunyianku di pojok belakang kelas ini. Suaraku semakin lirih ketika aku melanjutkan dialogku.
“Just swear you love me and…”
Plak! Terdengar sebuah suara yang keras. Aku menoleh ke sampingku. Nick sedang mengelus-elus jidatnya yang tiba-tiba menjadi merah. Entah karena apa.
“Lo aktor sampah! Kalau enggak bisa akting, paling enggak jangan ketawa-ketiwi di adegan yang bukan komedi!”
Seorang anak lelaki berteriak dari meja di belakang kelas, di samping mejaku yang sekarang sedang kosong. Dia sangat tampan dan gagah. Dia jelas-jelas keturunan bule. Mungkin Amerika atau Inggris. Entahlah, aku tidak terlalu mengenalnya. Yang aku tahu semua wanita di kelas ini mengidolakannya. Namanya Aldrick.
“Sok jago lo! Sini maju kalau memang lo lebih jago!” Nick berseru dengan kesal.
“Boys! Please behave!” Mr. Phil, si bule Aussie yang berperut buncit itu, berusaha menenangkan suasana.
Jantungku berdegup dengan keras. Tidak mengerti akan apa yang sedang terjadi saat ini. Mengapa Aldrick tiba-tiba bertengkar dengan Nick? Apa Aldrick baru saja menyelamatkan aku dari menjadi bahan tertawaan seisi kelas? Ah, tidak mungkin! Tidak mungkin itu alasannya. Tidak pernah sekali pun dalam hidupku seseorang membelaku di depan publik seperti ini. Apalagi seorang cowok ganteng dan populer seperti dia. Mungkin dia hanya menggunakan kesempatan ini untuk mencari masalah dengan Nick. Bukankah anak cowok sukanya cari ribut seperti itu?
“Aldrick, I think you are a better actor than Nickolas. Please step forward and replace him,” pinta Mr. Phil.
“With pleasure, Sir!” jawab cowok itu dengan lantang.
Oh tidak! Apa ini yang sedang terjadi?! Mengapa dia sudi maju ke depan dan menggantikan Nick seperti itu? Apa yang sedang dia lakukan? Benarkah dia sedang membelaku di hadapan seluruh isi kelas? Itu mustahil! Wajahku tiba-tiba terasa panas karena malu. Atau mungkinkah karena aku tersentuh oleh kebaikan lelaki tampan itu?
Nick kembali ke tempat duduknya dengan kesal. Aldrick bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menggantikan posisi Nick di hadapanku. Dia memandangku tepat di mataku. Pandangannya serasa langsung menembus ke jantungku. Pipiku terasa panas. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada kertas naskah di genggaman tanganku. Tidak berani membalas tatapannya karena aku tidak mau mempermalukan diriku lebih lagi dengan pingsan di depan kelas.
Aku memulai kembali dialogku dari awal.
“Oh, Romeo, Romeo, why do you have to be Romeo? Forget about your father and change your name. Or else, if you won’t change your name, just swear you love me and I’ll stop being a Capulet.”
Suaraku bergetar karena canggung. Sebesar apapun energi yang aku kerahkan, suara yang keluar dari mulutku tidak lebih daripada hanya sekadar bisikan lirih. Bisa jadi karena jantungku terlalu sibuk berdetak dengan kencang tak karuan.
“Should I listen for more , or should I speak now?” Aldrick membaca dialognya sambil memunggungiku.
Rambutnya yang pendek berwarna hitam kecoklatan. Punggungnya sangat tegap dan gagah. Dan dia sangat tinggi untuk ukuran seorang anak SMU. Kurasa tinggi badanku hanya hampir mencapai bahunya saja.
“It’s only your name that’s my enemy. You’d still be yourself even if you stopped being a Montague. What’s a Montague anyway? It’s not a hand, a foot, an arm, a face, or any other part of a man. Oh, be some other name! What does a name mean? The thing we call a rose would smell just as sweet if we called it by any other name. Romeo would be just as perfect even if he wasn’t called Romeo. Romeo, lose your name. Trade in your name—which really has nothing to do with you—and take all of me in exchange.”
Aku membaca semua kalimat panjang itu tanpa berkonsentrasi. Jantungku sibuk berpacu dengan keras. Otakku sepertinya menolak untuk bekerja dengan benar. Sehingga semua kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar seperti keluar dari mulut sebuah robot. Oh! Ini sangat memalukan!
Lalu tiba-tiba Aldrick membalikkan badannya. Dia menatapku dengan sangat dalam. Sampai-sampai jantungku lupa berdetak.
“I trust your words. Just call me your love, and I will take a new name. From now on I will never be Romeo again.”
Mataku terpaku pada matanya. Aku tidak dapat bergerak. Seperti seekor mangsa yang secara gaib terpikat pada seekor predator dengan mudahnya.
“Who are you? Why do you hide in the darkness and listen to my private thoughts?”
Aldrick mendekatiku. Dia maju satu langkah lebih dekat kepadaku. Kemudian dia menggenggam tanganku. Aku tersentak kaget. Tangaku kaku dan dingin seperti es batu. Aku ingin melepaskan genggaman tangannya tapi otot-otot jariku terlalu kaku untuk dapat bergerak bahkan satu sentimeter pun.
Ah! Dasar jantungku yang bodoh! Sekarang dia malah berdetak terlalu kencang! Keringat membasahi dahiku. Perlahan-lahan keringat itu menetes membasahi wajahku. Tapi aku bahkan tidak ingat untuk mengusapnya sama sekali. Aku terlalu sibuk memandangi wajahnya yang tampan, hidungnya yang mancung dan rahangnya yang persegi. Dia jauh lebih tampan daripada Om Ridwan, suami Tante Cathy yang sekarang mengasuhku.
“I dont know how to tell you who I am by telling you a name. I hate my name, dear saint, because my name is your enemy. If I had it written down, I would tear up the paper.”
Sekarang mataku mulai berair karena lupa berkedip. Kerongkonganku terasa kering dan aku bahkan harus berpikir keras untuk dapat membacakan dialogku yang berikutnya. Apa yang terjadi dengan tubuhku ini?? Oh, Tuhan! Apa yang terjadi kepadaku saat ini?!
“I haven’t heard you say a hundred words yet, but I recognize the sound of your voice. Aren’t you Romeo? And aren’t you a Montague?”
Dia maju satu langkah lagi mendekatiku. Dia mencondongkan bahunya yang gagah itu kepadaku dan berbisik sambil menatapku dengan lembut.
“I am neither of those things if you dislike them.”
Lututku lemas. Tubuhku seperti lumer di bawah tatapan matanya yang berwarna coklat dan terang seperti api itu.
“Cut!” teriak Mr. Phil, “Terrific! Aldrick and Jacklyn! Give them a round of applause, ladies and gentlemen.”
Aku mengalihkan pandanganku pada teman-teman sekelasku. Mereka bertepuk tangan. Mereka memberikan pujian. Wow! Ini pertama kalinya aku berdiri di depan kelas dan diberikan tepukan tangan. Ya, mungkin mereka sebenarnya memuji penampilan Aldrick yang menawan. Tapi bukan masalah, karena baru kali ini aku dihujani puluhan tatapan mata tanpa ada satu orang pun yang mencibirku. Tidak juga Aldrick, si cowok tampan yang berdiri di sampingku itu.
Dia membungkuk, memberi hormat pada para penontonnya. Lalu kami berjalan kembali ke tempat duduk kami di pojok belakang kelas dengan masih dihujani tepukan tangan teman-teman sekelasku. Dia berjalan di depanku. Aku mengikutinya di balik punggungnya. Hatiku terasa begitu hangat. Entah mengapa rasanya aku ingin sekali tersenyum. Sesuatu yang sudah sangat lama tidak kulakukan. Namun aku menahan diriku. Aku tahu senyumanku tidak secantik itu.
Tanpa kusadari, aku terus menatap tengkuk Aldrick sampai kami kembali duduk di kursi kami masing-masing. Bahkan ketika aku sudah duduk dengan nyaman di kursiku, aku masih belum bisa melepaskan pandangan mataku darinya. Dalam hati, aku masih bertanya-tanya mengapa Aldrick tadi membelaku? Apakah ini mimpi? Dia bahkan menggenggam tanganku dan berbisik dengan lembut kepadaku. Ini tidak mungkin benar-benar terjadi. Bangun, Jacklyn! Bangun!
Aldrick kemudian menoleh kepadaku. Dia menangkap aku sedang memandanginya tanpa henti. Ini dia! Setelah ini dia pasti membentakku karena telah bertingkah aneh seperti ini. Dan aku akan bangun dari mimpi indahku, di atas tempat tidurku sambil masih mengenakan piyama kelinci kesayanganku.
Namun dia malah tersenyum kepadaku. Dan dia pun balas memandangku dengan ramah. Kemudian dia menjulurkan tangannya kepadaku.
“Kayaknya kita sudah lama sekelas tapi belum pernah benar-benar kenalan ya. Aldrick. Biasa anak-anak panggil gue Al.”
Senyum pun spontan mengembang di wajahku tanpa bisa aku tahan lagi. Aku menjulurkan tanganku, menyambut jabatan tangannya yang tergantung di hadapanku. Tangannya kuat dan kekar. Sepertinya dia suka olahraga.
“Jacklyn. Kamu boleh panggil saya apa saja – walaupun mereka biasanya memanggil saya Kapten Jack.”
“Kapten Jack? Jack Sparrow maksudnya?!”
Aku tersenyum kecut. Kalau boleh jujur, aku memang tidak terlalu suka dengan panggilan itu. Tapi apa boleh buat. Aku tidak bisa membuat mereka berhenti memanggilku seperti itu.
“Mungkin. Entahlah. Saya selalu pura-pura tidak peduli.”
“Lo sama sekali enggak ada mirip-miripnya sama Jack Sparrow. Mereka buta kalau panggil lo kayak begitu. Hmmm let’s see…”
Dia berpikir sebentar. Bahkan ketika dia mengerutkan keningnya pun dia tetap terlihat sangat tampan. Tuhan sangat murah hati ketika menciptakan dirinya.
“Gimana kalau gue panggil lo Lyn aja? Kedengarannya lebih manis. Boleh?”
Aku mengangguk riang. Tanpa kusadari senyumanku mengembang jauh lebih lebar lagi.Oh, ya ampun! Mengapa aku tidak bisa berhenti tersenyum?! Wajahku pasti terlihat sangat bodoh saat ini. Dan mengapa aku tidak juga bangun dari tidurku? Apakah ini sungguh-sungguh sedang terjadi? Jantungku tidak bisa berdetak dengan normal. Darahku mendesir-desir dengan keras di seluruh tubuhku. Tidak mungkin aku masih tidur dengan dentuman jantung dan desiran darah yang kencang seperti ini.
Artinya, ini sungguh-sungguh terjadi. Ini adalah realita. Aku tidak sedang bermimpi. Dan Aldrick sungguh-sungguh telah berbicara kepadaku, menyelamatkan aku dan menjadi Romeo-ku – walaupun hanya kurang dari lima menit saja. Ah! Senangnya!
Berhenti tersenyum, Jacklyn! Tolong berhentilah! Kamu adalah seorang juara kelas. Jangan bersikap bodoh seperti itu! kata hati kecilku.
Tapi aku tidak bisa berhenti tersenyum. Aku tidak bisa berhenti melirik lelaki yang duduk di meja sebelah itu. Oh, ya ampun! Aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran!
Apa ini? Apa yang terjadi padaku?
Apakah aku sedang jatuh cinta?
Inikah rasanya jatuh cinta?
Ternyata, jatuh cinta pada pandangan pertama itu memang benar bisa terjadi.
Aku saksi hidupnya.
*) Pengen tahu kelanjutan kisahnya? Langsung aja pesan bukunya di sini.