Topik ini sempat jadi perdebatan panas beberapa minggu yang lalu karena ada seorang influencer yang berkata bahwa rahasia awet muda adalah childfree. Berikut kutipan komentarnya yang kontroversial itu:

“Tidak punya anak memang anti penuaan alami. Kamu bisa tidur selama 8 jam setiap hari. Tidak stress mendengar teriakan anak-anak. Dan saat kamu akhirnya keriput, kamu punya uang untuk membayar botox.”

Di sini gue gak mau membahas apakah omongan dia benar atau salah. Karena benar atau salah itu tergantung prinsip hidup yang dipegang masing-masing orang ya. Apa yang menurut gue benar mungkin menurut orang lain salah. Karena itu opini, jadi tergantung dari sudut pandang orang yang bersangkutan.

Berbeda dengan fakta. Yang namanya fakta itu hanya ada satu dan nyata. Seperti hukum gravitasi dan “bumi itu bulat”. Fakta itu tidak bisa diperdebatkan karena hanya ada satu kebenarannya yang bisa dibuktikan. Misalnya, mau dilihat dari sisi mana pun di luar angkasa, bumi gak akan jadi datar; dan kalau lo ngelempar apel di mana pun selama masih di permukaan bumi dan tanpa perlakuan khusus pasti akan jatuh ke bawah, gak mungkin melayang ke angkasa.

Jadi, opini itu subjektif. Tapi yang namanya fakta itu absolut. Sampai sini paham ya.

Same Thing, Different Perspective

Ada yang suka, ada yang tidak suka!

Beberapa hari ini gue kepikiran aja dengan dua kata ini: childless dan childfree. Dua-duanya memiliki makna yang sama: gak punya anak. Tapi yang satu mengungkapkan dengan kata child-less yang memiliki arti kekurangan atau ketiadaan sehingga memberi kesan yang lebih muram. Sedangkan yang satu mengungkapkan dengan kata child-free yang memiliki arti bebas atau lepas sehingga memberi kesan yang lebih ceria. Satu hal, dua sudut pandang. Dua-duanya ada di dalam kamus. Dan dua-duanya valid. Hanya tergantung dari sudut pandang orang yang ngomong aja mau pilih pakai kata yang mana, childless atau childfree.

Melihat dari dua sudut pandang manusia yang tertuang menjadi dua kata yang berbeda tersebut, ada satu hal yang menurut gue sangat jelas dan adalah sebuah fakta. Bahwa nyatanya, gak punya anak buat satu orang mungkin adalah keingingan, sementara buat orang lainnya adalah sesuatu yang tidak mereka inginkan. Ada orang yang bersedih karena dia berusaha keras untuk memiliki anak tapi tidak kunjung mendapatkannya. Ada orang yang sejak awal memilih untuk tidak punya anak dan merasa bahagia dengan kondisi yang dia pilih tersebut. Orang yang pertama mengharapkan segala kemungkinan yang bisa terjadi bersama dengan anak (ya capeknya, ya berisiknya, ya susahnya), sementara orang yang lain memandang hal-hal tersebut sebagai beban. Salah? Ya enggak. Balik lagi. Kan ini opini. Sifatnya subjektif. Benar atau salah tergantung dari sudut pandangnya.

Jadi ada orang yang merasa childless, ada orang yang merasa childfree. Again… same thing, different perspective. Hal yang sama, beda sudut pandang. Wajar… Gak ada masalah. Tapi kenapa yang kemarin itu malah jadi masalah?

Where It Gone Wrong?

Hati-Hati dengan Jarimu…

Jadi salah ketika seseorang mengharapkan orang lain untuk menerima opininya sementara dia tidak bisa menghargai opini orang lain. 

Jadi salah ketika orang yang bersangkutan mengeluarkan pernyataan tambahan yang menghakimi bahwa mereka yang berkomentar negatif tentang dirinya adalah “ibu-ibu yang lelah ngurus anak” – seolah-olah semua ibu yang punya anak itu pasti kecapekan dan kerjaannya nyinyir doang, dan diam-diam menyesali keputusannya untuk memiliki anak… Hmmm… Kalo Mbak-nya gak suka orang lain menghakimi keputusannya untuk gak punya anak, kenapa Mbak-nya jadi menghakimi orang lain yang memilih punya anak seolah-olah itu adalah sebuah kebodohan ya?! Jadi salah kan kalau begini…

Faktanya, gue punya anak, jujur kadang-kadang pun gue lelah, tapi gue gak pernah menyesali keputusan gue untuk menjadi seorang ibu meskipun segitu susahnya dan dramatisnya pengalaman pertama gue menjadi seorang ibu (– bisa dibaca di buku gue My Tiny Miracle yaa!).

Jadi, berdasarkan pengalaman gue pribadi, faktanya: Tidak semua ibu yang punya anak akan menyesal telah menjadi seorang ibu, sekalipun itu susah dan melelahkan! Semua orang punya perjalanannya masing-masing di muka bumi ini. Dan kita semua berhak menginterpretasikan segala pengalaman kita pribadi dengan cara kita masing-masing yang pastinya unik dan berbeda dengan orang lain. Jadi, kalau gue punya anak dan gue puas dengan pilihan gue, ya gak salah juga dong. Sama dengan pilihan Mbak-nya yang gak mau punya anak dan merasa puas juga dengan pilihannya. Sah-sah aja kok.

Cuma…. Bisa kan, Mbak, kalau jarinya ditahan sedikit supaya kesannya enggak meremehkan atau mengecilkan kelompok yang berbeda pendapat dengan Mbak-nya? Sederhana aja, kalau mau dihormati orang lain, belajar lah untuk menghormati orang lain terlebih dahulu. Timbal balik… Gampang kan…

If You’re Not With Me, You’re My Enemy

Berbeda-beda dan tetap berdamai.

Sayangnya, banyak orang yang masih memiliki paham ini. Bahwa kalau kita enggak sepikiran, berarti kita musuhan. Loh ya, padahal gak harus begitu kok. Kita bisa kok punya pendapat yang berbeda dan tetap hidup berdampingan dalam damai. Bisa loh! Asal saling toleransi dan menghormati perbedaan satu dengan yang lain.

Nah, masalahnya, ada satu fakta lainnya lagi yang penting untuk kita ketahui. Bahwa dibutuhkan kecerdasan yang lebih tinggi untuk bisa memandang suatu hal dari perspektif yang berbeda dengan perspektifnya sendiri. Jadi, kita mungkin sudah tahu banyak tentang toleransi dan saling menghormati dari PPKn. Tapi kalau kita gak mau belajar untuk benar-benar paham, akhirnya semua itu hanya jadi teori untuk bahan ulangan di sekolah doang. Padahal skill ini tuh sangat penting dimiliki. Apalagi ketika dunia kita yang berbeda jadi semakin mudah beririsan di media sosial dan internet. Karena tanpa skill ini, kita akan dengan mudah memancing gesekan di media sosial karena kita berpikir bahwa hanya pendapat kita lah yang paling benar.

So please, friends, respect others! It’s okay to voice your own opinion. But when somebody tells you that it’s wrong, if IT IS AN OPINION, maybe you have to try to consider their perspective. Bukannya dengan keras kepala mempertahankan opininya sendiri sebagai satu-satunya yang paling benar dengan menyatakan bahwa opini orang lain itu salah. Karena mungkin pendapat mereka juga ada benarnya. Dan mengakui bahwa pendapat mereka benar, enggak menjadikan pendapat kita salah. Namanya juga opini. Bisa kok ada 2 opini yang sama-sama benar. Hanya FAKTA yang absolut punya satu kebenaran saja dan tidak bisa dibantah. Sedangkan opini itu bebas dan memiliki banyak sudut pandang. Jadi meskipun beda, bisa saja sama-sama benar. Bukan kayak pilihan ganda yang cuma punya satu jawaban yang benar. 

Humans are complicated. We have so many different voices. Dan satu-satunya cara untuk bisa hidup berdampingan dengan damai adalah dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut. Jadi penting banget buat kita bisa membedakan antara fakta dan opini supaya kita tahu mana yang perlu diperdebatkan dan mana yang hanya bisa diterima. Dan ketika berhadapan dengan opini yang berbeda, cobalah untuk membuka pikiran supaya kita bisa jadi semakin cerdas dan memahami perbedaan yang dimiliki masing-masing pribadi. Terutama ketika seseorang adalah influencer dengan followers yang banyak. It’s super important to filter your message to them so you won’t spread hatred to others. That’s my opinion.  

Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!

Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!

Spread love,