Limits. Rules. Boundaries.

Itu adalah kata-kata yang sering bikin gue stuck. Mandek. Mentok.

Beginilah contoh pola pikir gue biasanya:

  • Gak bisa sering-sering pergi ke luar lah, kan sekarang udah punya anak
  • Gak bisa sibuk kayak dulu lagi lah, kan harus ngurus rumah
  • Gak bisa makan di luar sering-sering lah, kan harus pastiin keluarga makan makanan sehat

It’s all about limits. It’s all about rules and boundaries.

Well, let me ask you some questions.

[pw_icon icon=”question” size=”xlarge” float=”left” color=”#fff” background=”#339966″ border_radius=”99px” url=”” url_title=””]

Who sets the limit? Who sets the rules and boundaries?
People.
Which people?
Just random people. Who have one common idea. And decide that it is the only truth in the world.
Are they right?
I don’t know. But many people think that they are right.
But is that making their truth a fact? A law of nature that cannot be defied like gravity?
I guess not.

Jadi kalau apa yang mereka bilang belum tentu benar, kenapa harus membatasi diri dengan apa yang mereka bilang? Belum tentu mereka yang ngomong dengan suara keras di mana-mana itu pun punya latar belakang yang kredibel untuk ngomong hal-hal yang mereka omongin. Semua orang bebas bersuara. Tapi apakah suara itu perlu dipercaya, keputusannya ada di tangan kita.

Balik lagi ke pola pikir gue yang serba terbatas.

Batasan adalah hal yang biasa di masyarakat kita. Itu adalah hal fundamental yang sudah biasa kita terima sejak kita lahir di bumi pertiwi ini. Karenanya, ketika mengemban sebuah peran baru, dengan mudahnya kita menerima semua embel-embel yang disertakan pada peran itu.

Contohnya, dalam kasus gue, waktu gue mulai mengemban peran baru sebagai seorang ibu. Entah kenapa ya, masyarakat selalu punya pola pikir ideal akan seperti apa seorang ibu seharusnya. Dan mereka dengan mudahnya memberi komentar (– yang kadang-kadang pedas, tanpa mikirin perasaan orang yang dengar) walaupun mereka belum pernah mengalaminya.

  • “Gak usahlah dibawa keluar-keluar. Nanti Kayla capek.”
  • “Jangan dikasih ke Mbak lah. Kasihan Kayla.”
  • “Masak yang rajin di rumah lah. Biar Kayla sehat.”

Ini adalah komentar simpel yang baik, yang gak ada maksud buat menyakiti, tapi tanpa disadari sangat-sangat ngebatasin ruang gerak gue sebagai seorang manusia.

Ini masalahnya, selain seorang ibu, gue juga adalah seorang manusia yang punya kepribadian. Bukannya mau sok-sokan jadi rebel ya. Cuma masalahnya, kalau semua komentar ini gue jalanin 100%, gue end up jadi orang yang cuma bisa diam di rumah, mendedikasikan seluruh waktu gue buat ngurus anak dan masak makanan organik di rumah setiap hari. I can’t do that!

Well, so sorry. Buat kalian yang belum pernah dengar sebelumnya: I’m not a perfect mom. And I never intend to be one. Perfection is boring. Perfection is tiring. And perfection often concealed with so many fake things.

Contoh yang lain lagi nih ya. Gue yakin gak sedikit dari kalian yang pernah ditanya hal-hal macam gini:

  • Sendirian aja. Blom ada gandengan ya?
  • Gak usah pacaran lama-lama lah. Kapan kawin?
  • Udah isi belum? Jangan ditunda-tunda lah. Nanti susah dapet anak loh.

Gak cuma jadi ibu doang yang banyak aturannya. Kalau dipikir-pikir, setiap jenjang kehidupan pasti ada ekspektasinya dari masyarakat. Yang kalau gak dipenuhi cenderung bikin orang ngerasa gagal.

  • Yang lain dah pacaran. Kok gue sendirian aja ya.
  • Yang lain dah married. Kok pacar gue gak ngelamar-lamar ya.
  • Yang lain dah post foto bayi di sosmed. Kok gue masih blom hamil juga ya.

Those thoughts are lethal. It kills your soul slowly from the inside.

Ketika gue mencoba untuk mengikuti semua aturan dan memenuhi semua ekspektasi itu, demi menjadi seseorang yang dianggap perfect, I end up feeling very depressed. Because I can’t be myself. I don’t have any energy left to do stuff that I love to do. I don’t have any time left to invest in my skills and relationships. I end up being a zombie, not a human.

And you know what the sad part is? Those people who saying stuff about you, maybe not even care how your life truly is.

Here is the thing. We cannot make people stop saying stuff about us. But we can stop putting unnecessary stuff in our minds.

Kalau mereka bilang A, dan kita enggak bisa ngejalanin A, ya carilah A alternatif yang bisa kita jalanin dan bikin kita bahagia di saat yang bersamaan. Jangan hanya terpaku pada A dan merasa gagal hanya karena gak bisa ngelakuin A. Get creative! Don’t limit yourself with boundaries that are made by others. Yes, we may have obligations. But to fulfil those obligations, we don’t always have to follow the rules that are set by others. We can bend the rules (– not breaking it) and still fulfil our obligations.

It works on me. And it makes me happier.

So next time somebody tells you that you can’t do something, find a workaround that enables you to do it. Don’t give up what you love just because of some persons who care less about you. If you love yourself enough, you will find a way. And you can stop hurting yourself by doing things that are truly nourishing your soul. Not just doing things that other people tell you to do. 

 

Spread love,

hiLda