Boundary
Minggu lalu akhirnya gue mendaratkan naskah buku non fiksi gue yang pertama pada sebuah penerbit. Yeay!!! Akhirnya naskah yang udah nganggur 8 bulan ini menemukan rumahnya. I’m so happy and excited. But at the same time, I’m also a little bit scared.
Percaya gak lo? Gue akhirnya bisa menerbitkan buku tentang kisah kehamilan pertama gue yang penuh drama 5 tahun yang lalu, yang sudah gue coba tulis berkali-kali selama 4 tahun terakhir dan akhirnya selesai tahun lalu, yang adalah surat cinta gue buat anak gue, yang mana gue curahkan segala tenaga dan kemampuan gue sampai gue ngikutin beberapa kelas menulis demi meningkatkan kualitas tulisan gue, tapi gue masih merasa takut ketika akhirnya karya ini punya kesempatan untuk keluar dari kandang.
Isn’t that crazy?!?!
Sejak awal gue memang takut ketika ingin mempublikasikan cerita ini. Karena ini adalah luka terbesar gue. Dan cerita ini sangat berharga buat gue. Ketika gue menulisnya, gue bahkan masih menangis ketika harus mengingat-ingat apa yang terjadi 5 tahun yang lalu. Cerita ini ditulis dengan darah dan air mata, makanya gue takut ketika kerentanan gue ini terekspos ke luar.
Gue takut akan penghakiman orang-orang terhadap apa yang gue tulis, apa yang gue rasakan, apa yang gue alami. Gue takut bila orang lain menganggap gue bodoh karena argumen-argumen gue, atau lemah sehingga bisa mengalami pre-eklamsia, atau terlalu sensitif sehingga bisa jatuh ke dalam post-partum depression.
Lantas gimana? Apakah karena gue takut maka gue harus membuang karya gue yang sudah susah payah gue bangun ini ke tong sampah?
Gue Menemukan Solusinya…
Namanya adalah BOUNDARY.
Boundary itu ibarat pagar rumah. Melindungi isi rumah dari hal-hal yang gak diinginkan. Pagar rumah tentunya dibangun oleh sang pemilik rumah itu sendiri. Seberapa besar dan tinggi pagar itu adalah hak dari sang pemilik rumah yang membangunnya. Bila seseorang merasa dirinya sangat rapuh dan perlu membangun pagar yang menjulang ke langit, itu adalah haknya. Gak ada yang salah. Bahkan mungkin ada orang yang merasa keutuhan pribadiannya sangat kuat sehingga tidak memerlukan pagar untuk melindungi rumahnya. Gak masalah juga. Setiap orang tahu sendiri seberapa banyak perlindungan yang dia butuhkan untuk melindungi integritas kepribadiannya.
Bulan lalu gue mengikuti sebuah sesi trauma healing bersama seorang psikolog handal. Dan dari sesi itu, Opa Dokter bilang sesuatu yang buat gue mindblowing banget:
“Kita tidak perlu bertanggung jawab atas apa yang orang lain pikirkan tentang kita.”
Opa Dokter
Duerrr!!! Membuka mata banget buat gue yang seringkali kebanyakan mikir tentang opini orang lain terhadap gue.
Pada akhirnya, kita sendiri yang mengatur mau bikin pagar setinggi apa, lapisannya seberapa banyak, dan bahannya terbuat dari apa. Bila ada orang di luar sana yang berpikir begitu buruk tentang kita, itu adalah urusan dia. Bukan tugas kita untuk mengubah bentuk “rumah” kita supaya dia bisa dengan nyaman masuk ke dalam pagar rumah kita.
This is my boundary, man!! My home, my rules!
Jadi kalau lo gak suka, ya silakan tetap tinggal di luar pagar. Karena harga diri gue tidak terpengaruh oleh opini kalian.
Because I know what I’m doing.
And why I’m doing it.
And your judgement will not change that!
Build Your Tribe!
That being said, one more thing that we need to understand is: You can choose the people you let in into your house.
Gak semua orang perlu kalian izinkan masuk ke dalam “rumah” kalian.
Bangunlah supporter yang memberikan aura positif buat lo. Orang-orang yang sepaham dengan lo dan akan mendukung ide-ide lo. Atau bahkan ketika mereka enggak setuju dengan yang lo lakukan, mereka akan memberikan koreksi dan nasehat dengan cara yang terhormat dan tidak merendahkan harga diri lo.
Kelilingi diri lo dengan orang-orang itu. Jadikan lingkaran dalam “rumah” lo hangat dengan kehadiran mereka.
Supaya ketika ada orang luar yang menyerang lo, meragukan integritas lo, atau berniat untuk menghancurkan lo, mereka bisa jadi sumber kekuatan buat lo.
At the end of the day, the people who really cares about you, will also respect your boundary.
Dan orang-orang seperti itulah yang selayaknya kita biarkan masuk ke dalam “rumah” kita.
Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!
Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!
Spread love,