Dear Social Media
Waktu gue masih kecil, gue punya sebuah buku kecil bergambar kodok lucu yang lembaran halamannya berwarna-warni dan wangi. Kalau lo termasuk generasi 90-an, lo pasti tahu buku apaan itu. Namanya buku diary. Tempat gue curhat tentang segala macam hal yang gak bisa gue ceritain ke orang lain kecuali ke lembaran-lembaran kertas bisu itu. Diary itu gue simpan baik-baik, tersembunyi di dalam lemari, bahkan gue pasangin gembok – yang kuncinya sekarang enggak tahu ada di mana. Karena segala hal yang ada di situ adalah rahasia. Cuma gue dan diary yang boleh tahu.
Zaman sekarang, buku kayak begini udah enggak banyak yang pakai lagi. Karena sekarang semua orang punya tempat baru untuk mencurahkan segala isi hatinya. Tempat itu namanya social media. Facebook, Twitter dan Instagram adalah tempat yang populer buat ngeluarin unek-unek yang ada di dalam kepala. Daripada nulis di sebuah buku yang tersembunyi di dalam lemari dan dipasangin gembok, kenapa enggak sekalian aja nulis di internet biar semua orang tahu? Rasanya lebih puas! Ya kan?! Semua rasa jadi lebih terlampiaskan ketika apa yang kita post dapat banyak like atau dilihat banyak orang.
Hi! Have You Met Me?
Termasuk dalam generasi early millennials, gue merasakan masa-masa sebelum adanya social media dan perubahan yang terjadi setelah adanya social media. Dulu, sebelum semua orang punya FB account, orang-orang enggak akan punya ekspektasi apapun ketika berkenalan dengan orang lain. Berkenalan itu as simple as berjabat tangan, lalu ngobrol untuk mengetahui lebih banyak tentang orang itu. No prejudice, no expectation.
Lalu datanglah Friendster. Waktu gue SMU, Friendster hadir dan memberikan warna yang baru dalam pertemanan. Dulu, fitur yang paling gue suka di Friendster adalah fitur Testimonial. Di situ, semua teman gue boleh nulis apa aja tentang gue. Dan gue bisa pajang semua pujian mereka tentang gue di halaman profil gue. (Untungnya enggak ada yang nulis jelek-jelek tentang gue ya. Haha.) Dan di profil Friendster juga ada fitur kesukaan gue yang lainnya, yaitu Relationship Status. Fitur yang berguna banget waktu lagi naksir, ya kan. Haha! Biar tahu si gebetan nih udah ada yang punya apa belum.
Awalnya, cuma itu yang bisa orang-orang share di internet. Lalu datanglah Facebook dengan fitur Status. Di mana orang-orang dikit-dikit curhat di wall-nya. Lagi kesal, lagi senang, lagi marah, langsung ditulis di situ dan semua orang bisa baca. Gak cuma sampai di situ, Facebook juga menambah banyak game di dalam sistemnya. Jadi profile Facebook kita enggak cuma buat mejeng doang, tapi juga bisa dipakai buat main bareng teman-teman. Bikin main game jadi lebih seru karena bisa bersaing sama teman-teman sendiri.
Lalu datanglah Twitter yang makin memudahkan kita untuk nulis hal-hal receh yang singkat. Cuma terbatas 140 karakter, curhat di Twitter kadang dibikin sampai berjilid-jilid. Gak lama kemudian Instagram pun muncul. Bikin hasrat kita untuk berpose di depan kamera jadi tersalurkan karena punya channel yang cantik untuk memamerkan foto-foto kita.
Maka apa yang terjadi setelah kehadiran para raksasa social media ini? Berkenalan jadi enggak sesimpel berjabat tangan dan ngobrol ngalor-ngidul lagi. Berkenalan jadi berjabat tangan lalu cari profile FB, Twitter dan IG-nya. Orangnya kayak apa sih? Sukanya apa sih? Serial killer bukan? Jomblo apa udah punya pacar? Married atau divorced? Punya anak enggak? Anaknya berapa? Eh, anaknya ada tiga. Buset! Dia gak KB kali ya?! Gajinya pasti gede sampe bisa biayain tiga anak. And so on… And so on…
Goodbye privacy. Goodbye life without prejudice.
Be Careful With What You Share
So, you know, I did treat my social media as the replacement of my diary. Pernah gue curhat di social media waktu lagi marah. Dan rasanya senang ketika dapat perhatian dari teman-teman yang mendukung gue karena tahu masalah gue apa. Tapi itu dulu. Sekarang, social media gue enggak cuma berisi teman-teman gue doang. Banyak orang yang bahkan enggak gue kenal yang ada di dalam lingkaran social media gue. Orang-orang yang bisa dengan mudah ngelihat apa yang gue share dan dengan mudah memberikan judgement tentang apa yang gue share.
It’s no fun anymore. Ditambah lagi gue berpikir orang-orang akan nge-share apa yang dia alami dengan jujur seperti yang gue lakukan. Tapi semakin dalam gue mengenal social media, semakin gue paham bahwa apa yang orang share di dalamnya terkadang fake. Enggak sesuai sama kenyataan. Cuma dicantik-cantikin aja untuk bisa dapat lebih banyak follower.
Social media become a facade. Something that conceal the truth beyond. Gue enggak bisa langsung percaya lagi sama apa yag ada di dalamnya. Dan gue juga jadi gak bisa lagi memperlakukan social media sebagai pengganti diary gue. Social media bukan lagi seperti best friend buat gue sekarang. Social media lebih gue anggap sebagai business partner aja sekarang. Sesuatu yang harus gue perlakukan dengan hati-hati, dengan image yang dibentuk sesuai keinginan gue.
Friend or Foe
Masing-masing orang punya pandangan sendiri-sendiri tentang caranya berinteraksi dengan social media. Tapi satu hal yang harus kita semua sadari adalah social media bisa jadi kawan atau lawan, tergantung pada gimana cara kita menyikapinya.
Kalau kita terlalu banyak nge-share hal-hal pribadi sampai-sampai semua hal tentang diri kita bisa diketahui orang lain dengan sangat mudah, bisa-bisa hal itu menjadi boomerang buat kita suatu hari nanti ketika kita berharap untuk enggak mendapat prejudice sama sekali dari orang yang baru kita kenal. Kalau kita menutup diri sama sekali dari social media mungkin kita bisa jadi kuper karena di zaman sekarang ini, segala macam informasi bersumber dari sana.
So, friend or foe, it’s up to us. Yang penting kita mengerti apa yang kita miliki dalam genggaman tangan kita ini dan gimana cara menggunakannya sesuai dengan tujuan kita masing-masing.
Thanks for reading this.
Spread love,
hiLda