Embrace My Weakness
Gue adalah orang yang takut gagal.
Gara-gara ketakutan yang gak penting ini, gue merasa harus selalu jadi orang yang kuat. A strong girl who never show any sign of weakness. Berpikir bahwa dengan menjadi kuat maka gue gak perlu menghadapi kegagalan.
Because this is how I picture myself when I fail at something:
- I’m a dirt
- I’m a waste of space
- I’m worthless
- Pokoknya gue adalah orang paling gak berguna kalau gue sampai gagal
Ada yang pernah ngerasain hal yang sama? Tolong angkat tangan? Terima kasih!
How I Hate My Weakness
Makanya gue benci sama semua kelemahan gue. Karena gue pikir kelemahan gue bakal bikin gue gagal. Gue pikir kelemahan gue bakal ngerusak semua pencapaian yang udah gue buat. Gue gak suka punya kelemahan. Gue benci jadi orang yang lemah.
Makanya kalau ada orang yang menawarkan bantuan ke gue, gue bakal jawab dengan santai dan sok cool:
- “Gak usah. Makasih.”
- “It’s okay, I got this.”
- “I don’t need your help. I’m not a damsel in distress.”
Dulu…. Itu dulu…
Sebelum gue sadar bahwa ternyata kelemahan gue sebenarnya bukanlah akar kegagalan gue. Justru ketidakmampuan gue untuk mengakui kelemahan gue lah yang lebih sering bikin gue gagal. Dan ternyata gue menyadari bahwa kelemahan gue sebenarnya adalah kekuatan gue yang belum terasah.
Gue kasih contoh ya.
Gue adalah seorang introvert.
Dalam dunia yang didominasi oleh para extrovert, dan ketika semua orang setuju bahwa extrovert adalah sebuah contoh yang baik yang harus ditiru semua orang, para introvert menjadi kaum minoritas yang lemah.
Gak asyik. Pendiam. Gak bisa berkontribusi. Bisanya diem doang di pojokan.
Contoh lainnya lagi. Gue adalah orang yang keras kepala. Kalau gue pengen sesuatu, gue bakal terus berusaha mendapatkan apa yang gue inginkan. Dengan sifat kayak begini, naturally gue jadi orang yang susah move on. Karena gue terlalu berfokus pada apa yang gue pengen, gue jadi gak peduli sama pilihan-pilihan lain yang ada di sekitarnya.
Ini adalah kelemahan gue yang seringkali gak cuma melukai diri gue, tapi juga orang-orang di sekitar gue. Pernah gue berusaha mengabaikan dorongan rasa keras kepala yang keluar dari dalam diri gue ini. Gue belajar ngikutin arus aja. Gue berusaha puas dengan apa yang gue punya. Gue gak berusaha mencari sesuatu yang lebih. Dan apa jadinya gue? Stagnan. Diam di tempat. Kayak pohon yang bukannya tumbuh ke atas malah lumutan doang.
Turning Point
Jadi apakah ke-keras-kepala-an gue adalah sebuah kerugian? Apakah ke-introvert-an gue adalah sebuah kelemahan? ENGGAK. Definitely NO.
But you know, these realisations doesn’t happen overnight.
Ada masanya gue benci sama diri gue yang gak berani maju ketemu sama orang baru. Gue bakal keringat dingin dari ujung kepala sampai ujung kaki, otak gue stuck, dan meskipun gue punya banyak hal keren yang pengen gue ucapin di otak gue, yang keluar dari mulut gue cuma jawaban-jawaban culun yang gak berarti. I hate that sooooo much!
Kenapa otak gue baru jalan kalau gue di rumah sih? Kenapa sih gue lebih jago bersuara lewat tulisan daripada lewat omongan? Kenapa sih kalau di depan orang baru gue kayak manusia purba yang gak punya kemampuan berkomunikasi? Ih!! Sebel banget deh!
Dan pernah juga gue benci sama diri gue yang terlalu “keras” ini. Menganggap karena sifat gue yang “keras”, gue jadi gak bisa punya banyak teman. Berpikir bahwa banyak orang yang kabur dari hadapan gue karena takut ngelihat pembawaan gue yang garang. Dan gue berusaha berubah menjadi orang yang super nice, super helpful, people pleaser.
And you know what happen? Yes I have many friends. But most of them just being friends with me because they want something from me. Either it’s my hand or my brain. Sucks!
Lesson Learned
Maka gue belajar. Lewat semua hal yang udah terjadi dalam hidup gue.
Apa yang salah? Kenapa gue begini?
Enggak. Enggak ada yang salah kok. Namanya juga manusia. Gak ada yang sempurna tanpa kelemahan. Dan kelemahan itu juga gak perlu selamanya jadi kelemahan. Kita bisa belajar gimana mengubahnya jadi sesuatu yang berguna buat kita. Mengubahnya jadi kekuatan.
Dengan jadi keras kepala (– dalam kadar yang wajar ya) gue punya drive dalam diri gue untuk mencapai sesuatu yang lebih. Gue bisa jadi orang yang sharp. Gak cuma jadi orang yang pasif dan cuma bisa menerima keadaan.
Tahu gak apa bedanya orang keras kepala sama orang yang bermotivasi tinggi? Gak ada bedanya. Sama aja. Cuma yang satu dilihat dari sisi negatif, yang lainnya dilihat dari sisi positif.
Mulai nangkep kan apa yang gue maksud di sini? ?
Dan tahukah kalian bahwa seorang introvert adalah penganalisa yang sangat baik? Orang extrovert mungkin sibuk ngobrol kanan-kiri mencari teman dan bersosialisasi, sementara orang introvert cuma bisa diam di pojokan sambil mengobservasi semua yang terjadi di dalam ruangan. Ya, orang extrovert mungkin akan pulang dengan lebih banyak teman daripada orang introvert. Tapi orang introvert akan pulang dengan lebih banyak informasi daripada orang ekstrovert.
Dengan sifat introvert gue, gue bisa ngerti lebih dalam akan pribadi seseorang. Bukan cuma apa yang dia tampilkan di luar. Gue juga bisa belajar dengan lebih cepat karena gue bisa fokus baca buku doang selama berjam-jam. Dan dengan ke-introvert-an gue, gue bisa menawarkan persahabatan yang lebih dalam dengan orang-orang yang gue percaya. You can trust me! Karena ketika seorang introvert menawarkan sebuah relasi persahabatan, lo bisa yakin kalau dia gak main-main. In terms of relationship, introverts love quality over quantity. So actually, after many thoughts, I don’t really care if I don’t have that many friends. As long as those people who are dear to me always there beside me.
I embrace my weakness. I embrace my many weaknesses. And learn to find the gold that is hidden in it.
Dan setelah mencari-cari sekian lama, gue menemukannya. Gue berhasil berdamai dengan kelemahan-kelemahan gue. Gue gak lagi memperlakukannya sebagai musuh. Tapi gue memperlakukannya seperti seorang teman lama yang pengen gue kenal lebih akrab lagi.
And it makes me happy.
Embracing my weakness makes me happy.
Not denying who I am makes me happy.
And I hope it can make you happy too.
Spread love,
hiLda