A Woman’s Place
Ini sudah menjadi bahan perdebatan sekian lama. Di mana kah seharusnya tempat seorang wanita? Di dalam dunia kerja atau di dalam rumah? Jadi ibu atau jadi CEO? Mengabdikan diri pada masyarakat atau pada keluarga? Rasanya memang lebih baik mengabdikan diri pada masyarakat. Padahal nilai-nilai tradisional yang dipegang banyak orang adalah agar wanita mengabdikan dirinya pada keluarga. Jadi mana yang lebih baik? Pertanyaan ini adalah salah satu yang menjadi perdebatan para feminist.
The Eyes Of The World
Dengan gencarnya, semua kampanye tentang woman empowerment menyuarakan kemerdekaan buat wanita. Muncul begitu banyak gerakan feminisme yang menyuarakan tuntutan para wanita untuk enggak dipandang sebelah mata. Masalahnya, buat gue, definisi feminisme ini sangat rancu.
Coba kita tes ya. Menurut kalian, gambar manakah di bawah ini yang lebih merepresentasikan seorang feminist?
Kalau kalian pilih Beyonce, selamat! Kalian memilih apa yang selama ini gue pikirkan. Sebuah image bahwa seorang feminist haruslah seorang wanita kuat yang kehebatannya mampu mengalahkan kehebatan pria. Seorang wanita yang enggak terkungkung di dalam rumah untuk menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk keluarganya. Seorang wanita yang berkarya di dunia kerja dengan begitu gemilang dan menginspirasi wanita muda lainnya untuk jadi seperti dia.
That was what I thought. WAS.
But let me elaborate more.
My Duality
Hey, I won’t lie. This issue bothers me so much.
Gue sangat suka dengan gerakan feminisme. Gue suka cewek-cewek yang unjuk gigi dengan bersinar begitu hebatnya di mata dunia. Gue suka cewek-cewek keren yang bisa mengutarakan pendapatnya dengan lantang tanpa rasa malu dan rendah diri. They are so powerful. And so… out there. Not in here. Stay inside. Stuck in a home.
What the hell am I thinking? Kenapa gue malah memilih untuk menjadi stay at home mom buat anak gue. I abandon my career and my dreams for taking care of her. I feel like I’m betraying myself. I feel like I’m a betrayal of all other girls.
Apakah gue sudah mencoreng usaha keras Kartini untuk kesetaraan gender? Di manakah seharusnya gue berada? Apakah seharusnya gue meninggalkan anak gue di rumah untuk mengejar mimpi gue? Apakah keputusan gue untuk enggak mengabdikan semua talenta yang gue punya ini ke dalam dunia kerja adalah sebuah kesalahan?
But, if this is wrong, why does this feel so right? Kalau ini salah, kenapa gue bisa menikmati setiap hari-hari gue sama anak gue di rumah? Kenapa gue gak pernah tega ninggalin dia bersama orang lain sementara gue berkarya untuk menunjukkan kehebatan gue di mata dunia seperti yang dilakukan banyak wanita jaman now?
Does this make me an anti-feminist? Am I a traditional girl? The very thing that any woman despise nowadays?
Damn! I hate myself! I became the very thing I despise.
Let’s Rewind A Bit
Untuk menjawab kegalauan gue ini, akhirnya gue belajar tentang feminisme. Dan ternyata ada begitu banyak jenis feminisme. Ada begitu banyak pandangan tentang bagaimana seorang wanita itu seharusnya. Dan gerakan ini sudah diperjuangkan sejak begitu lama. Dan buahnya memang manis. Karena sebagai wanita di jaman modern ini gue bisa dengan gampang baca buku, nyoblos pas pemilu dan milih suami gue sendiri. Sesuatu yang jaman dulu bahkan gak bisa dilakukan oleh wanita.
Dan ternyata, gerakan feminisme gak cuma berhenti di situ aja. Masih banyak hal yang perlu diubah dan diperbaiki. Kayak gimana kekerasan terhadap wanita di lingkungan kerja atau di dalam rumah masih dianggap sebagai hal yang biasa. Dan gimana upah seorang wanita biasanya lebih rendah daripada pria yang memiliki jabatan dan kemampuan yang serupa. Ini adalah hal-hal yang sangat perlu diubah. Gue setuju banget sama ini semua.
Tapi feminisme gak berhenti di situ juga. Masih ada banyak wanita yang menuntut lebih. Mereka ingin menunjukan superioritas para wanita. Mereka percaya bahwa untuk bisa memperoleh kemerdekaan yang mereka cita-citakan, mereka harus jadi lebih kuat daripada para pria. Who run the world? Girls!! Begitu kata Beyonce.
Maka gak heran dong kalau bayangan gue tentang feminist sangat lekat dengan image Beyonce yang ada di foto sebelumnya. Cewek kuat yang bisa nge-toyor cowok-cowok rese yang ngehalangin gue. Cewek kuat yang menentang semua aturan tradisional yang berakar pada paham patriarki, termasuk image bahwa seorang cewek seharusnya tinggal di rumah demi mengurus keluarganya.
It makes me sad! So sad! Boleh gak sih gue jadi stay at home mom yang juga seorang feminist? Bisa gak sih gue jadi dua hal yang kontradiktif secara sekaligus?
Crazy! Logisnya ya gak akan bisa lah!
The True Definition of Feminism
But… Wait! Gimana kalau ternyata definisi gue tentang feminisme selama ini salah?
Gue rasa gambar ini bisa langsung menjelaskan apa yang gue maksud.
Di gambar sebelah kiri, cewek itu terbelenggu. Yang dia lakukan adalah berusaha menghancurkan belenggu itu. Sementara di gambar sebelah kanan, cewek itu enggak terbelenggu apa-apa. Dia sudah bebas. Tapi yang ingin dia lakukan adalah memancung cowok yang ada di hadapannya. It doesn’t feel right, huh?!
Kalau ternyata tujuan feminisme adalah untuk menghancurkan belenggu yang memasung wanita sekian lama, maka sebenarnya yang perlu gue lakukan adalah menyatakan kemerdekaan gue dari semua belenggu patriarki itu. Misalnya, belenggu yang menyatakan bahwa sudah menjadi tugas seorang wanita untuk tinggal di rumah dan mengurus keluarganya. Sesuatu yang pre-determined. Sebuah aturan yang harus dijalankan tanpa memperhatikan kehendak si pelakunya. Padahal dalam kasus gue, keputusan untuk jadi stay at home mom adalah keputusan gue sendiri. Enggak ada satu orang pun yang memaksakan aturan ini terhadap gue. Gue memilihnya atas dasar kehendak gue sendiri.
Jadi, kalau gue memilih untuk menjadi apa yang orang pandang sebagai ciri khas traditional girl atas kehendak gue sendiri, berarti gue masih tetap seorang feminist dong? Ya kan? Ya kan? Hehe…
Karena untuk jadi seorang feminist, gak perlu tuh berusaha unjuk gigi sampai mengkhianati hati nurani sendiri. Gak perlu sampai sekuat tenaga menyangkal semua nilai tradisional (– yang mana gak semuanya jelek kok by the way). Feminism for me is to have a choice. And able to live as I choose it to be.
Jadi buat gue, feminisme adalah ketika gue diizinkan memilih untuk kembali ke dunia kerja atau tinggal di rumah atas keinginan gue sendiri, bukan karena itulah yang diharapkan oleh orang-orang atas seorang wanita yang sudah menjadi ibu seperti gue. Dan feminisme juga adalah ketika suami gue dengan sukarela cuci piring di rumah karena dia tahu bahwa menjaga kebersihan rumah bukanlah hanya kewajiban wanita saja.
Feminisme adalah ketika gue bisa dengan bebas memilih gue mau jadi apa. Tanpa harus pusing apakah sebenarnya pilihan gue itu feminist atau enggak. Karena feminisme adalah tentang menghancurkan belenggu. Bukannya menambah belenggu terhadap seseorang yang sudah enggak memakai belenggu lagi.
So Which One Is Better?
Jadi mana yang lebih baik? Jadi CEO atau jadi ibu rumah tangga?
Menurut gue, itu semua objektif. Tergantung dari kacamata siapa. Dan tergantung siapa yang ngejalaninnya. Girls, we can’t have it all! Akan sangat menyenangkan jika kita bisa jadi seorang CEO sukses sambil tetap memiliki relasi yang berkualitas sama anak kita. Tapi gak semua orang akan bisa melakukannya. Kebanyakan orang tetap harus memilih yang mana yang menjadi prioritasnya.
Seorang wanita bisa bahagia dengan stay single sambil terus membangun karirnya. Ada juga wanita yang tetap bisa bahagia kembali ke dunia kerja sambil sambil menitipkan anaknya di daycare atau kerabat terdekatnya. Dan ada juga wanita lainnya yang tetap bahagia dengan sukarela meninggalkan karirnya demi keluarganya. Apapun pilihan yang dia ambil, asalkan pilihan itu diputuskan sebagai seorang yang tidak terbelenggu, dia tetap adalah seorang feminist. Menurut gue, itulah makna feminisme yang sebenarnya.
Semua orang berhak punya opininya masing-masing. Wanita mana pun berhak memilih apa yang ingin dia lakukan dengan hidupnya. Yang terpenting adalah ketika dia mengambil keputusan itu, dia melakukannya atas kehendaknya sendiri. Dan keputusan itu bukan diambil atas dasar rasa takut (– takut akan cibiran orang terutama ya).
Dan satu lagi yang gak kalah penting. Adalah ketika seseorang sudah memutuskan apa yang dia pilih, dan ketika hal itu berbeda dengan apa yang kita anggap ideal, gak perlu lah ngegosipin atau ngatain dia. Apalagi ngerasa kasihan sama orang itu karena dia gak bisa menjadi seperti apa yang kita anggap adalah figur seorang wanita yang ideal. Hey! Mungkin dia sudah menjadi figur ideal yang dia idam-idamkan. Siapa elo sampai ngerasa berhak menentukan dia seharusnya jadi seperti apa? Dan gue rasa, kalau kita mau keputusan kita dihargai oleh orang lain, bukankah selayaknya kita pun menghargai keputusan orang lain? It’s a simple logic! So, be nice girls. Sometimes, girls are meaner towards other girls.
So where is a woman’s place?
For me, it is anywhere I want it to be.
I don’t want anyone to define where I should be.
Because it’s my life. It’s my choice. And as long as I’m happy with what I’m doing, who are you to judge me?
Spread love,
hiLda
PS: Judul artikel ini diinspirasikan oleh judul fictional novel karangan tokoh Serena Joy dalam kisah The Handmaid’s Tale. Kalau lo belum baca novelnya, cari aja di toko buku import. Nama pengarangnya Margaret Atwood. Atau lo juga bisa nonton serialnya yang diproduksi oleh Hulu.