Serial drama Korea yang satu ini adalah salah satu favorit gue banget. Gue yakin kalian juga banyak yang suka sama It’s Okay To Not Be Okay karena banyak alasan. Karakternya yang kuat, temanya yang tentang mental health atau simply karena Kim Soo Hyun yang super sweet dan ganteng unyu dengan baby face-nya, plus Seo Ye Ji yang gorgeus banget tapi bikin geregetan gara-gara nyebelin abis.

Artikel ini sudah mau gue tulis sejak season finale-nya. Tapi baru ada kesempatan sekarang nih guys. Sorry ya gue menghilang lama dari web blog ini. Gara-gara kesibukan lain yang malah semakin banyak di era pandemi ini. But that’s another story for another time.

Anyway, banyak banget pelajaran yang bisa dipetik dari serial It’s Okay To Not Be Okay. Meskipun judulnya super panjang dan susah diucapkan, maknanya cukup mendalam. Karena kita enggak harus selalu merasa baik-baik saja. Enggak apa-apa untuk merasa enggak baik-baik saja. Itu normal. Dan memang sudah saatnya kita perlu menormalisasikan perasaan enggak baik-baik saja itu. Hehe!

Nah kali ini gue mau mengangkat sisi parenting dari serial It’s Okay To Not Be Okay. Ada 4 karakter orang tua di serial ini. Dan ada beberapa pelajaran berharga yang bisa kita kupas dari kehidupan mereka berempat. Penasaran? Yuk baca sampai habis ya.

!! MAJOR SPOILER ALERT !!
ONLY PROCEED IF YOU’RE SURE THIS IS WHAT YOU WANT TO DO

1. Do Not Define Your Children’s Future

Kehidupan sehari-hari bersama anak kadang bisa berubah menjadi challenging. Dan ketika situasi memanas, kita sebagai orang tua kadang dengan mudah melontarkan kata-kata yang sebenarnya bertentangan dengan apa yang dimaksudkan hati kita sebenarnya. Atau, dalam obrolan santai, kadang-kadang kita enggak sengaja mengucapkan sesuatu yang bisa dengan mudah disalahartikan oleh anak kita.

Pepatah berkata bahwa lidah tidak bertulang. Lebih mudah melukai dengan kata-kata daripada dengan pisau. Karena ketika kita melukai dengan kata-kata, seringkali kita melakukannya tanpa disadari. Sama seperti mamanya Moon Gang Tae yang tanpa sadar melukai anaknya dengan berkata bahwa dia hidup untuk merawat kakaknya. Padahal mungkin yang sebenarnya dimaksud mamanya adalah supaya Gang Tae menjaga Sang Tae yang memang memiliki keterbatasan. Bukan berarti Gang Tae tidak boleh memiliki kehidupan sendiri selain merawat kakaknya seumur hidupnya.

Sangat mudah untuk salah paham mendengar kata-kata itu. Dan luka batin yang diakibatkannya justru terus terasa hingga dia dewasa. Apalagi ketika kata-kata yang diucapkan mamanya Gang Tae secara implisit mendefinisikan masa depannya. Seketika dia merasa hidupnya terkunci ke satu tujuan yaitu merawat Sang Tae. Dan semua harapan lain yang ingin dia capai dalam hidupnya sirna seketika itu juga.

Jadi, menurut gue, ketika kita menyampaikan opini kita tentang anak kita, sekalipun kita enggak boleh mendefinisikan masa depannya. Dia punya hak untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri. Jangan sampai apa yang kita ucapkan malah menutup pintu harapan yang sebenarnya adalah bahan bakar baginya untuk mengejar cita-citanya ketika dia dewasa nanti. Kita boleh menyampaikan pendapat kita. Tapi jangan dengan cara yang definit. Karena profesi apapun yang dia pilih nanti, apapun yang dia lakukan nanti, ada banyak perspektif untuk memandangnya. Tidak hanya terbatas di satu sisi saja.

2. Your Children Need Your Presence, Not Your Existence

Perbedaan antara “ada” dan “hadir” itu sebenarnya bagai jurang. Kita bisa saja berada di suatu tempat, tapi perhatian dan pikiran kita melayang ke tempat lainnya sehingga kita tidak hadir di sana. Kita bisa “ada” secara fisik, tapi tidak “hadir” seutuhnya. We may exist, but not present.

Dunia modern menghadirkan begitu banyak kemudahan. Dengan kecanggihan teknologi, kita bisa melakukan segalanya dengan mudah. Masalahnya, ketika segalanya dapat dilakukan dengan mudah, kita jadi ingin melakukan segalanya DAN menjadi segalanya. Menjadi terkenal di media sosial. Menjadi yang paling sukses di antara teman-teman. Atau mungkin malah sibuk ngeborong flash sale tiket pesawat atau barang hot items.

Tanpa disadari, segala yang mudah itu ketika dimultiplikasi ternyata menyita banyak sekali waktu dan perhatian kita. Kita begitu tenggelam dalam kesibukan kita hingga melupakan orang-orang nyata yang ada di sekitar kita. Seperti papa Ko Mun Yeong yang entah sibuk ngapain, sampai-sampai satu-satunya kenangan indah yang dimiliki Ko Mun Yeong dengan papanya hanya pernah dibacain buku satu kali aja. Duh kasihan banget kan.

In my opinion, the most powerful thing in the world is people. Orang-orang nyata yang ada di sekitar kita lah yang pastinya bisa bikin hidup kita lebih berwarna. Orang-orang terdekat kita yang bisa jadi penyelamat ketika kita kesepian atau terpuruk. Bukan para follower kita di media sosial. Atau bos kita yang ingin kita bikin terkagum-kagum dengan hasil kerja kita. Jadi, jangan pernah lupakan itu. Karena keluarga, sebagai orang terdekat yang berada di lingkaran kehidupan kita yang paling dalam, adalah orang-orang yang paling berharga dan gak akan pernah bisa tergantikan.

3. Your Children Is Not Your Life Goal

Sama seperti kita yang punya kehidupan sendiri, anak-anak kita juga berhak atas kehidupannya sendiri. Tugas kita sebagai orang tua adalah mengarahkan, membimbing dan memfasilitasi mereka sesuai kebutuhan mereka. Tapi akan jadi berlebihan ketika kita mulai menuangkan tujuan hidup kita sebagai standar kehidupannya.

Ya, kita sebagai orang tua pastinya sudah hidup lebih lama daripada anak-anak kita. Dan dalam perjalanan kehidupan yang sudah pernah kita lewati, kita mungkin memiliki beberapa penyesalan dalam hidup yang belum sempat kita lakukan. Dan kita berpikir, karena dia masih muda, kita ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan apa yang belum sempat kita lakukan. Enggak ada yang salah dengan hal ini.

Yang salah adalah ketika batasan itu mulai melebur seperti yang dilakukan mamanya Ko Mun Yeong. Dia ingin anaknya menjadi seperti dirinya. Dia menganggap segala achievement yang dicapai anaknya adalah HANYA berkat dirinya. Maka dia merasa gagal ketika Ko Mun Yeong tumbuh menjadi seseorang yang tidak sesuai dengan gambarannya. Ini sangat salah dari segala sisi.

Ya, ketika si anak masih kecil, dia belum punya kemampuan untuk membuat keputusan yang baik. Maka segala keputusan dalam hidupnya – mau sekolah di mana, mau belajar apa, mau liburan ke mana dan berteman dengan siapa – sedikit banyak harus melibatkan pertimbangan orang tua. Tapi seiring bertambah dewasanya dia, orang tua harus semakin mundur dari kursi pengemudi. Dan membiarkan si anak belajar untuk mengemudikan hidupnya sendiri. Biarkan dia menikmati segala pencapaiannya. Atau belajar dari kegagalannya.

Enggak perlu take credit untuk semua yang dia lakukan. Karena bagaimana pun juga, dia adalah dirinya sendiri. Dan membuat dia mencapai apa yang gagal kita capai dalam kehidupan kita enggak akan membuat hidup kita jadi lebih sukses melainkan hanya menambah luka untuk hati seorang anak kecil yang ingin punya kendali atas hidupnya sendiri.

4. There Is No Perfect Parent

Yang terakhir ini adalah favorit gue. Kita sebagai orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik buat anak-anak kita. Kita berjuang sekuat tenaga untuk menyediakan segala yang dia butuhkan. Menjadi penolongnya ketika dia kesulitan. Menjadi tempat bersandar ketika dia kesepian. Atau bahkan menjadi gurunya ketika dia butuh bimbingan.

Tapi, sekeras apapun kita berusaha, ketahuilah ini mommy and daddy, kita enggak akan pernah bisa jadi orang tua yang sempurna. Pasti ada aja yang akan menjadi ganjalan, ada aja masalahnya, ada aja yang gak sreg antara kita dengan anak-anak kita. Seperti mamanya Nam Ju Ri. Ahjuma yang selalu doing her best, masak makanan enak, mengerti apa yang jadi kebutuhan anaknya. Tapi pada akhirnya, anaknya juga tetap memiliki hambatan dalam hidupnya dan dia enggak bisa menjadi SEGALANYA yang dibutuhkan anaknya.

Nam Ju Ri tumbuh menjadi seorang wanita yang mandiri. Tapi dia enggak bisa bersandar dan percaya pada orang lain. Dia enggak bisa mengekspresikan emosinya. Dia hanya memendam setiap lukanya dan bertarung menghadapinya sendirian. Meskipun mamanya selalu ada dan hadir, dia enggak bisa melibatkan mamanya dalam pergumulannya. Padahal kurang baik apa mamanya?! Ya kan?! Sang Tae aja sampai menganggapnya kayak mama kandungnya sendiri.

So, kesalahan bukan terletak pada sang mama. Tapi karena memang pada hakikatnya, kesempurnaan adalah hanya milik Sang Pencipta. Jadi, kita pun sebagai orang tua, bila kita mengejar untuk bisa jadi orang tua yang sempurna, percayalah kita pasti akan gagal. Enggak ada orang tua yang sempurna. Sama dengan enggak ada anak yang sempurna. Semakin cepat kita menyadarinya, semakin damai kehidupan dalam keluarga kita pastinya.

Kalau menurut kamu, pelajaran apa lagi yang bisa dipetik dari serial It’s Okay To Not Be Okay? Yuk bagiin pendapat kamu di kolom komentar di bawah ya.

Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!

Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!

Spread love,