Lelah rasanya aku melangkah. Hati ini sudah letih. Beban hidup rasanya menghimpit. Entah harus ke mana lagi aku melangkah. Rasanya semua sudah buntu.

Tanpa sadar kakiku melangkah ke sana. Ke tempat itu. Tempat yang selalu rutin aku kunjungi tiap hari Minggu dulu. Gereja tua yang kecil itu. Di mana dulu aku selalu datang bersama ayah dan ibuku.

Ah! Kenangan itu menghangatkan hatiku. Tempat duduk yang usang itu. Dan atapnya yang tidak setinggi katedral yang megah. Seakan membawaku kembali ke masa kecilku.

Air mata mengalir di pipiku. Entah berapa lama sudah aku tidak merasakan perasaan itu. Kehangatan kasih sayang. Karena sekarang aku sendirian. Pedih rasanya. Tapi tidak tahu harus bagaimana.

Cahaya berkerlip mengalihkan pandanganku. Lilin-lilin berjejer di bait doa itu. Tempat dulu aku suka berkunjung ketika musim ujian tiba. Berdoa supaya nilaiku baik. Supaya aku bisa lulus sekolah dan membuat orang tuaku bangga.

Aku mengambil sebatang lilin putih dari kotak di dinding. Adakah gunanya aku berdoa? Ya, dulu aku berdoa untuk ujianku. Dan aku memang lulus sekolah walaupun nilaiku pas-pasan. Tapi apakah itu karena doaku? Entah sejak kapan, aku mulai berhenti percaya akan hal-hal itu.

Tapi apa ruginya lah. Toh sekarang aku sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Apa ruginya menyalakan lilin dan menekuk lututku barang lima menit saja. Lagipula begitu banyak lilin yang menyala di sini. Pastinya banyak orang yang masih berdoa. Dan pastinya mereka tidak mungkin tetap berdoa bila doa mereka tidak terjawab.

Ah biarlah. Kunyalakan saja lilin ini. Dan aku akan berdoa. Supaya aku bisa menemukan jalan keluar dari masalahku ini.

***

Sebulan berlalu sejak aku berlutut di gereja tua itu. Kali ini senyum menghiasi wajahku. Aku berjalan dengan tegap. Ya doaku sudah terjawab. Dan pagi ini aku kembali untuk berterima kasih atas jawaban doaku.

Gereja tua itu masih sepi. Sama ketika terakhir kali aku ke sana. Aku langsung berjalan menuju ruang doa itu. Oh! Tidak ada lilin yang menyala kali ini. Mungkin masih pagi. Jadi orang-orang belum datang untuk berdoa di sini.

Aku duduk sebentar di bangku panjang itu sambil menghirup udara segar. Hati yang penat sudah hilang. Berbeda dengan kali terakhir aku berada di tempat ini. Untunglah dulu aku memutuskan untuk menyalakan lilin dan berdoa di sini.

Kemudian seorang anak kecil masuk ke ruangan itu. Tanpa pikir panjang, dia langsung menuju ke kotak lilin di dinding. Dengan yakin dia meraup begitu banyak lilin di kedua tangan kecilnya.

Apa yang sedang dia lakukan? Itu kan lilin doa. Bukan mainan.

Aku segera melangkah mendekatinya.

“Hai, Dik! Kamu sedang apa?” tanyaku sopan.

“Nyalain lilin, Om,” katanya santai sambil menyalakan lilin itu dan menancapkannya satu per satu.

“Ini bukan tempat main, Dik. Ayo kembaliin lilinnya.”

“Aku enggak lagi main, Om. Aku lagi ngejalanin tugas yang penting dan serius.”

“Hah? Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Kalau aku enggak nyalain lilin di sini, enggak akan ada yang datang ke sini untuk berdoa, Om.”

Aku terkekeh, “Ah masa sih?”

“Iya. Bener. Aku kan di sini setiap hari. Aku selalu perhatiin orang-orang yang datang ke sini sambil bersihin taman di depan. Biasanya mereka selalu sibuk dengan rutinitas mereka. Tapi kalau mereka melihat ada lilin yang menyala di sini, mereka akan mampir dan menyalakan satu lilin juga.”

Aku tercengang mendengar penjelasannya. Dan aku mengingat kembali ketika aku di sini dan memutuskan untuk berdoa. Itu adalah karena lilin-lilin menyala yang seakan memanggilku untuk menundukkan kepala.

Aku pikir lilin-lilin yang banyak itu dinyalakan oleh orang-orang yang datang berdoa ke sini. Orang-orang yang doanya terjawab. Tapi ternyata lilin-lilin itu dinyalakan oleh satu orang anak kecil ini. Seorang anak yang ingin membagikan harapan lewat cahaya lilin yang dinyalakannya.

Mungkin dia tidak betul-betul paham apa yang dia lakukan. Bahwa yang dilakukannya akan memberikan persepsi yang salah para orang lain. Bahkan bisa dibilang sedikit mengandung unsur pembohongan publik. Tapi siapa lah yang peduli dirinya ditipu bila akhirnya dia bisa menemukan pengharapan kembali seperti yang pernah aku alami.

Aku tahu sekarang bahwa lilin-lilin itu bukan menyatakan berapa banyak doa yang terjawab. Tapi berapa banyak pengharapan yang ingin kita bagikan pada orang lain.

Jalan keluar dari masalah akan selalu ada. Asalkan kita bisa melihat secercah pengharapan. Meskipun pengharapan itu hanya berasal dari sebuah cahaya lilin yang tidak bisa berkata apa-apa.

“Om bantu nyalain lilinnya ya, Dik,” kataku kepadanya. Sambil diam-diam berterima kasih akan tindakan kecil dan sederhana yang dia lakukan itu. Karena bila sebulan yang lalu dia tidak menyalakan lilin itu, mungkin aku sudah tidak ada di sini lagi.

Biarlah lilin-lilin itu tetap menyala. Supaya orang-orang tahu bahwa pengharapan selalu ada. Tidak peduli siapapun yang menyalakannya.

***

Cerita ini seluruhnya adalah murni fiksi. Dapat inspirasi buat nulis cerita ini waktu nyalain lilin doa buat Si Kecil sebelum tahun baru. Dan rencananya cerita ini di-publish pas malam tahun baru. Tapi apa daya, waktu terbatas dan gak sempat nulis. Jadi baru sempat di-publish sekarang. Semoga kalian suka ya..!

Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!

Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!