“Wan, sini. Itu barang yang di depan dilap lagi biar bersih. Ingat ya! Barang display harus selalu kelihatan bersih dan rapi. Enggak boleh berdebu sama sekali. Kalau enggak, mana ada pembeli yang mau beli.”

Wawan yang sudah bersimbah keringat buru-buru mengelap barang-barang yang ditunjuk si Ibu Bos. Ya begitulah. Sudah sejak 10 tahun yang lalu, sejak Wawan pertama kalinya bekerja di toko ini, si Ibu memang paling suka ngelihat barang dagangannya tertata bersih dan rapi. Dia paling enggak suka sama debu yang menempel di barang-barang jualannya. Semua harus terlihat indah di mata pembeli. Bahkan karung beras yang paling jelek sekalipun.

“Itu jangan lupa dipel lagi. Kamu kan habis lap daerah situ. Nanti debunya jatuh ke lantai jadi kotor lagi.”
“Siap, Bu,” jawab Wawan. Sudah biasa dengan segala sifat perfeksionis nyonyanya yang satu ini.

“Ma. Udah sih. Duduk dulu,” kata Riko dengan gemas.
“Ah! Sudah biasa Mama kayak begini setiap pagi. Sudah kamu aja yang duduk. Dan lihat gimana Mama bekerja mengatur toko setiap hari,” jawab sang Mama dengan tegas.
Maklum lah. Sudah dua puluh tahun lebih dia jadi bos di toko ini. Enggak heran kalau dia sudah terbiasa jadi yang tukang ngatur di sekitar sini.

“Ma, aku tuh udah tiga bulan ngikutin Mama setiap hari di toko ini. Hari ini kan harusnya Mama udah gak perlu ikut ke toko lagi. Kan kita udah sepakat kalau hari ini adalah hari pertama aku pegang kendali sepenuhnya di sini. Jadi sudah dong, Ma. Kasih kepercayaan ke aku kali ini,” balas Riko setengah kesal.

Bukannya dia lupa kalau mereka berdua sudah sepakat. Tapi dia merasa belum cukup rela untuk melepaskan toko yang sudah dibangunnya sekian lama dengan bersimbah keringat. Dan bukannya dia enggak yakin anaknya bisa menggantikan dia dengan baik. Dia cuma enggak terbiasa kalau harus duduk diam di rumah tanpa bisa ketemu pembeli setiap hari lagi.

Toko tua ini sudah menjadi nafas hidupnya. Dia merintisnya dari nol. Sejak papanya Riko meninggal tiba-tiba dalam kecelakaan motor, dia berjuang keras untuk membiayai kehidupannya dan anaknya lewat toko yang sederhana ini. Toko ini bukan toko yang mewah. Kalah jauh daripada supermarket yang berdiri megah di jalan raya depan. Tapi toko ini adalah segalanya buat dia.

Dindingnya yang bernoda adalah saksi bisu segala perjuangannya selama ini. Rak-rak kayu yang berderet itu adalah penontonnya ketika dia harus menghabiskan berjam-jam membereskan pembukuan keuangan. Bahkan tumpukan botol bekas yang ada di dalam kardus di gudang pernah jadi mainan kesukaan Riko ketika harus menunggu sang Mama menutup tokonya saat matahari terbenam.

Setiap jengkal yang ada di sini adalah kenangan yang berarti. Semuanya. Bahkan kaleng biskuit yang ada di atas meja kasir itu sudah seperti teman lama buatnya. Namun sekarang dia harus melepaskannya.

“Bukan, Riko. Bukannya Mama enggak percaya sama kamu. Mama cuma bingung apa yang harus Mama lakukan sekarang setelah toko ini jadi punya kamu,” bisiknya dalam hati.

Seolah bisa membaca pikiran Mamanya, Riko berkata, “Ma, sudahlah. Percayakan toko ini sama Riko ya. Mama harus istirahat. Supaya penyakit jantung Mama enggak kumat lagi. Ingat pesan dokter loh, Ma.”

“Iya, iya. Ya sudah Mama duduk,” jawabnya galak. Akhirnya menyerah walaupun masih tidak rela.

Riko sudah tahu hal ini akan terjadi. Dia tahu ikatan yang dimiliki mamanya dengan toko ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilepaskan. Dia sendiri juga enggak tahu bagaimana cara terbaik untuk membuat sang Mama bisa merelakan dirinya sendiri untuk pensiun. Kayaknya, karena udah terlalu terbiasa bekerja setiap hari, jadi pensiunan dan hidup santai sama sekali enggak pernah terlintas dalam benaknya. Jadi, meskipun para pasukan karyawan di luar sana selalu membayangkan kehidupan pensiun yang santai tanpa harus bekerja sama sekali, sang Mama malah membenci keharusannya untuk enggak bekerja sama sekali.

“Bu, ini kalkulator kesayangan Ibu ada di etalase depan,” kata Wawan sambil menghampiri Si Nyonya.
“Eh, Wan. Sini. Kasih ke saya aja,” perintah Riko.
“Eh iya. Maaf, Kak. Kebiasaan ngelapor sama Ibu terus,” jawabnya sambil cengengesan.
“Udah sini. Kasih ke saya aja,” jawab sang Mama gemas, “Mama ini cuma pensiun. Bukan berarti gak bisa ngapa-ngapain, Riko,” protesnya.

Dia mengambil kalkulator yang sudah tua itu. Benda ini adalah benda pertama yang dia beli untuk memulai bisnisnya. Saking sudah tuanya, angka-angka yang ada di atasnya juga sudah mulai menghilang. Sudah berkali-kali diganti baterainya. Berkali-kali jatuh dan mengalami kecelakaan. Tapi dia tidak pernah sekalipun mengganti kalkulatornya. Buat apa lah. Kan masih bisa dipakai untuk menghitung. Ya terus saja dipakai sampai benar-benar tamat riwayatnya.

“Tahu gak dulu kalkulator ini harganya berapa?” tanyanya iseng.
“Aduh, Ma. Gak usah bangga-banggain kalkulator jelek itu lagi deh. Lagian kan sekarang jamannya udah pakai kasir digital. Gak perlu ngitung pake kalkulator satu-satu lagi. Kan Riko udah pasangin sistem kasir yang baru,” jawab Riko gemas.
“Iya Mama tahu. Kamu habisin jutaan buat pasang itu semua. Padahal Mama dulu beli ini harganya cuma sepuluh ribu loh. Dan Mama pakai selama dua puluh tahun lebih. Itu baru namanya investasi,” jawabnya tidak mau kalah.
Riko memutar bola matanya.
“Iya, iya. Investasi yang bernilai banget. Bahkan dulu waktu aku masih kecil juga bisa jadi mainan. Multifungsi ya,” balas Riko gemas.

“Dulu kamu pernah numpahin air ke kalkulator ini. Ingat gak?”
“Oh iya. Mama kan sampai marah besar gara-gara itu. Haha! Untung masih mau nyala lagi dia.”
“Gimana Mama enggak marah besar. Kalau kalkulator ini gak mau nyala lagi, Mama harus mencongak buat menghitung semuanya. Dan waktu itu kan lagi krisis moneter. Sampai-sampai kalau beli kalkulator baru pun rasanya kayak buang-buang duit.”
“Tapi Mama berhasil kan melewati krisis moneter. Bahkan toko Mama makin sukses.”
“Iya. Untung enggak perlu beli kalkulator baru kan. Kalau enggak, kamu bisa enggak dapat uang jajan sebulan supaya Mama bisa beli yang baru.”
“Waduh! Apa jadinya ya dulu kalau aku yang masih SD gak dikasih uang jajan sebulan. Bisa ngamuk kali tuh.”
“Dan kalau kamu ngamuk, Mama enggak pernah bisa konsentrasi jualan di toko. Bisa-bisa toko Mama ikutan tutup kayak tokonya Pak Agus di sebrang jalan pas krismon dulu.”
“Hahaha! Untung kalkulator ini tangguh kayak Mama ya.”
“Ah! Ada-ada aja kamu. Untung kamu yang tangguh kayak Mama. Kalau enggak, siapa lagi yang bisa Mama andalkan sekarang.”

Riko tertegun. Ada kehangatan yang merebak di dalam dadanya. Dia tahu Mamanya bukan orang yang mudah melontarkan pujian. Bahkan kepada anaknya sekalipun. Dia selalu bekerja keras sepanjang hidupnya. Dan setiap peluhnya telah membentuk wataknya menjadi sosok yang sama kerasnya dengan usahanya.

Tapi baru saja sang Mama berkata bahwa dia adalah andalannya. Riko. Si lulusan S1 universtias swasta yang biasa aja. Enggak pernah bersinar di kelas sejak dari TK sekalipun. Enggak pernah dapat piagam penghargaan apapun. Seorang manusia rata-rata. Yang gak bisa berbuat banyak. Tapi bertekad untuk meneruskan usaha sang Mama yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dan berjanji pada dirinya sendiri akan membawa usaha kecil ini menjadi sesuatu yang besar suatu hari nanti.

Riko bukan siapa-siapa di mata dunia. Tapi di mata sang Mama, dia adalah andalannya.

Riko menghampiri mamanya dan memeluknya. Sang Mama kaget akan anak lelakinya yang biasanya tidak suka dipeluk tapi kali ini tiba-tiba merangkulnya dengan begitu hangat.

“Untung Riko punya Mama yang tangguh. Jadi Riko bisa belajar untuk tetap berdiri walaupun seluruh dunia bilang Riko bukan siapa-siapa.”

Air mata merebak di mata sang Mama. Dulu dia adalah bos. Pengusaha. Pemilik toko. Sekarang dia hanyalah seorang ibu yang memeluk anaknya. Yang menyerahkan sebuah tongkat estafet imajiner kepada putranya.

Dia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada tokonya. Apakah Riko dapat membawanya menuju kesuksesan atau kegagalan. Tapi satu hal yang dia yakini. Riko akan selalu ada buat dia sampai maut memanggilnya. Dia tahu Riko melakukan semuanya ini untuknya. Sebesar itu rasa sayangnya untuk mamanya. Dan itu saja sudah cukup buatnya sekarang. Bukan berapa banyak uang yang dapat Riko hasilkan nanti. Tapi detik ini, waktu ini, di mana mereka berpelukan bersama dan dia dapat merasakan segala jerih payahnya selama puluhan tahun terbayarkan dengan lunas.

Lunas. Meskipun bukan dalam hitungan matematika seperti yang dilakukan kalkulator usang itu.

***

Thanks for reading this short story! Share it if you like it. 😉

Spread love,