Stay at home mom. Full time mom. Housewife. Menurut gue, kata-kata ini adalah kata-kata yang sangat diskriminatif. Begitu diskriminatif-nya sampai sempat bikin gue benci sama pilihan yang gue ambil. Karena gue pikir, dengan memilih apa yang gue pilih, yang gue lakukan sekarang adalah menjadi seorang ibu rumah tangga yang terkungkung di dalam rumah. Sebuah image yang sangat enggak gue suka sejak gue masih muda. Karena gue gak mau hidup gue “berakhir” ketika gue jadi seorang ibu.

Let me tell you my story…

 

The Beginning of My Motherhood Journey

Gue memasuki fase motherhood dengan penuh luka dan air mata. Literally and figuratively. Gue harus melahirkan 8 minggu lebih awal karena mengidap pre-eklamsia. Gue harus menyaksikan anak gue terlahir kecil mungil dan dipasangi kabel ketika dia lahir. Bye-bye bayangan memeluk anak gue yang baru keluar dari rahim dalam pelukan tangan gue. Gue bahkan baru bisa ketemu sama dia keesokan harinya. Dan itu pun hanya bisa pegang tangan mungilnya doang. Gak bisa gendong dia. Gak bisa cium dia.

Perjalanan gue dimulai dengan sebuah luka. Luka yang begitu dalam.

Dampaknya, gue sering memikul rasa bersalah yang sangat besar. Berpikir bahwa dia terlahir prematur adalah kesalahan gue. Mengutuk diri sendiri karena enggak sanggup memberikan yang terbaik kepada si kecil. Maka akhirnya gue memutuskan untuk menutup diri. Giving my all for my tiny baby. Abandoning everything that I want. My dreams and my plans. I change. So much.

 

Stay At Home Mom

Jangan salah. Meskipun gue udah enggak kerja kantoran sejak beberapa bulan sebelum gue hamil, gue enggak pernah nganggur doang di rumah. Gue ikut banyak banget kegiatan. Gue sempat memegang beberapa project freelance bahkan waktu gue masih hamil. Jadi jangan berpikir gue sudah sempat “latihan” untuk jadi stay at home mom ya. Enggak! Gue di rumah. Tapi gue masih punya banyak banget kerjaan dan project yang gue lakukan dengan kedua tangan gue sendiri.

Bedanya apa sama ketika anak gue pulang ke rumah setelah 27 hari dirawat di rumah sakit sejak dia lahir? Di masa itu gue di rumah. Dan benar-benar terasing dari segala aktifitas gue yang dulu. Mungkin tanpa gue sadari gue sendiri yang menghindar. Mungkin tanpa gue tahu gue sendiri yang menutup diri. Karena waktu itu gue sedang terluka. Jadi yang gue lakukan adalah mencoba untuk menebus kesalahan gue. Dengan cara mengorbankan segala yang gue pengenin untuk memastikan anak gue tumbuh dengan sempurna dan berhasil mengatasi prematuritasnya.

Ini adalah perubahan yang amat besar! Kenapa? Karena dari gue yang dulu hampir setiap hari keluar rumah, waktu itu gue bisa seminggu penuh diam di rumah doang, cuma keluar buat jalan-jalan di sekitar kompleks aja. Dari gue yang dulu bisa ngobrol setiap hari sama orang dewasa, waktu itu gue cuma bisa nunggu suami gue pulang untuk bisa sekedar dengar orang lain ngomong sama gue.

It’s a very lonely period in my life. Gue senang karena bisa dekat sama anak gue setiap hari. Tapi sesuatu dalam diri gue terkikis dan menghilang. Entah sejak kapan. Entah berapa lama.

 

My Purgatory

You know, sometimes in life, we cannot actually choose something that we want. Sometimes there are choices. But we are forced to choose one thing because of circumstances. And circumstances force me to take this path.

Lupakan lah image stay at home mom yang rumahnya selalu kelihatan perfect, anak-anaknya makan makanan organik dan keluar rumah selalu kelihatan kece karena punya banyak waktu buat perawatan (– karena enggak bekerja). Hey! I’m so far from that! Rumah gue berantakan. Anak gue kadang-kadang makan bubur bayi instan. Dan gue kelihatan kucel karena jujur aja gue enggak sempat dandan! And let me shout it from the rooftop: Me being a stay at home mom is so much more tiring than me being a working woman!! It’s true!

Waktu gue masih kerja, bahkan ketika gue jadi expat di negara orang dengan bos kiasu yang super rese, kalau kolega gue bertingkah menyebalkan, gue bisa dengan mudah ngomelin balik atau simply menolak kerjaan yang bukan kerjaan gue. Tapi ketika jadi Mommy, gue berhadapan sama makhluk kecil gak berdaya, yang tangisannya bikin kepala mau pecah, dan gak akan pernah ngerti setiap argumen yang gue lontarkan.

Kalau gue menolak melakukan yang dia minta? Dia nangis! Kalau gue ngomelin balik? Dia nangis! Dan yang lebih parahnya lagi, kerjaan ini tuh 24 jam non stop. Gak ada hari liburnya. Gak ada jam istirahatnya. Bahkan kalau dia nangis pas gue masih tidur pun gue harus bangun! Bayangkan kalau itu adalah bos kiasu gue yang dulu? Gue tinggal matiin HP dan lanjutin tidur. Kalau sama si kecil yang ini, mana bisa?!

Being a stay at home mom is very very very tiring. It is a sacrifice. And maybe, if you let me say it, it is like a purgatory.

 

What Pisses Me Off

And you know what pisses me off? It is how the world think about a stay at home mom. How they expect a stay at home mom should be. And how they say what a stay at home mom would do. It’s appalling!

Mereka pikir seorang stay at home mom pasti gak punya tantangan buat menyusui anaknya. Anaknya pasti ASI eksklusif. Dan stay at home mom pasti adalah yang paling gencar kampanye tentang kebaikan ASI. Atau yang sering disebut sebagai “ASI NAZI” (– I really hate these words by the way). Ugh! FYI, meskipun enggak perlu pumping untuk menyusui, gue masih harus menghadapi mastitis beberapa kali. Dan ya, menurut gue menyusui adalah momen yang paling menyenangkan karena gue bisa berdekatan sama anak gue sambil menikmati genjotan oxytocin dalam tubuh gue. Jadi, YA! Gue akan menyarankan pada siapa pun untuk sebisa mungkin menyusui. Tapi gue bukan “ASI NAZI”! Lagian, what is “ASI NAZI” anyway? Is there any “ASI Hitler” leading them? What a joke!

Dan satu image lagi yang paling bikin gue pengen marah adalah betapa orang berpikir stay at home mom itu akan selalu bertengkar dengan working mom. Oh please!! Seolah-olah stay at home mom dan working mom adalah dua kubu yang berbeda. Seperti dua kutub magnet yang selalu berlawanan. Seolah-olah kalau kita jadi yang satu, kita enggak bisa jadi yang lainnya. Dan kutub yang satu selalu berpikir dirinya jauh lebih baik daripada kutub yang lainnya.

Let me shout this once again from the rooftop: I don’t care if you’re a housewife or a working woman as long as you don’t mess with me! And trust me, I won’t mess with you either. I respect your choice to leave your child in other’s care to pursue your dream. And I hope that you too respect my choice to leave my dream to take care of my child. That’s it!

Honestly, gue enggak pernah berpikir ada satu cara yang paling baik untuk jadi seorang ibu. Gue cuma melakukan apa yang menurut gue paling baik untuk gue lakukan. Kalau orang lain punya pendapat yang berbeda, ya silakan. I respect that. And I demand to receive at least that same level of respect from others.

 

Mommy’s Home

Entah mengapa, gue sering berpikir bahwa menjadi stay at home mom itu seolah-olah adalah sesuatu yang buruk. Mungkin karena omongan sekitar. Mungkin karena gue punya personal issue. Anyway, gue sering merasa penat dengan semua omongan menyebalkan yang ditujukan tanpa arah kepada golongan stay at home mom. Tapi di satu sisi gue pun sering mendambakan bisa balik bekerja lagi dan jadi working mom. Is it true that I have to choose a side? What is the solution?

So now I make peace with myself. I make peace with my choice.

It’s true that I’m forced to take this path by circumstances. But I won’t let circumstances keep defining me and choose my steps for me.

I want to lead my own way. I want to be the captain of my own ship.

Maka gue mencoba mencari jalan tengah. Gue mau tetap terus berkembang sebagai seorang pribadi. Gue enggak akan membiarkan hidup gue “berakhir” ketika gue menjadi seorang ibu. Jadi gue mulai menyibukkan diri lagi dengan beberapa pekerjaan. Gue mengurusi beberapa bisnis pribadi gue. Dan gue memulai blog ini untuk jadi tempat gue berbagi dan mengasah skill menulis gue. Gue menolak untuk diam dan do nothing. Gue mencoba untuk keluar dari dari kepompong gue dan jadi sesuatu yang baru. And I become a working from home mom. ?

You know, many things can change just because of a shift of a perspective. Sekarang gue enggak lagi merasa tercabik. Gue tahu apa yang gue lakukan. Dan gue tahu apa yang gue pilih. Gue tahu ke mana arah yang gue tuju. Dan gue tahu gimana caranya untuk sampai ke sana.

And before I knew it, I’m back! My old me emerge again! I am me again!

Gue yang terluka pelan-pelan semakin pulih. Dan gue enggak malu lagi dengan pilihan yang gue ambil sekarang. Gue enggak menyesal atau membayangkan apa yang seharusnya terjadi kalau ada sesuatu yang bisa gue ubah di masa lalu. NO! I’m willing to move forward and take over the path that circumstances choose for me.

And you know what? I guess I also proving something here. Gue membuktikan bahwa stay at home mom dan working mom bukanlah dua kubu yang berlawanan. Because, as I said before, I’m a working from home mom! Jadi gue ambil secuil bagian yang baik dari yang satu dan secuil lagi bagian yang baik dari yang lainnya, kemudian menjadikannya sesuatu yang baru.

Lagipula, mungkin sebaiknya kita enggak perlu terlalu terpaku sama kata-kata. Bagaimana pun cara kita mendefinisikan diri kita sebagai seorang ibu, yang terpenting menurut gue adalah gimana kita bisa selalu jadi best friend buat anak kita. Gimana kita punya attachment yang kuat sama anak kita sehingga dia enggak cari kasih sayang dari tempat yang lain, yang mungkin enggak akan bisa memberikan kepadanya kasih sayang yang tulus.

 

So, for me, no matter how we do it, the most important thing is that Mommy’s home.

And once Mommy know who she is, and how she should live her life, it doesn’t matter what she do inside or outside the house, she will always come back home with peace inside her heart.

 

Spread love,

hiLda