How Feminism Should Look Like: Rumi vs. Sue Storm

Buat kalian yang sering baca blog gue, pasti udah pada tahu kalau gue adalah penggemar berat Marvel. Gue paham sudah banyak banget yang mulai muak dengan cerita superhero dan Marvel mulai kehilangan pamornya. Tapi sebagai penggemar berat, gue berharap film terakhirnya – Fantastic Four: First Steps – bisa kasih angin segar dan ngangkat nama Marvel lagi.
Honestly, filmnya gak jelek kok. Gue suka sama Pedro Pascal yang memerankan Mr. Fantastic. Overall, film ini juga sudah mendingan daripada film-film Marvel belakangan yang mulai ngebosenin. Tapi ada sesuatu yang terasa mengganjal sejak gue nonton film ini. Let me explain...
Let’s Start with Sue Storm
Film Fantastic Four sudah dibuat berkali-kali dalam berbagai versi. Makanya sudah banyak sekali aktor yang memerankan karakter Sue Storm. Di film Fantastic Four: First Steps karakter ini diperankan oleh Vanessa Kirby.

Menurut gue, akting Vanessa sebagai Sue itu bagus banget. Tapi ada beberapa hal yang menurut gue bikin karakter Sue ini agak ngawang-ngawang. Pertama, dia luar biasa sukses sebagai superhero yang merangkap sebagai duta perdamaian dunia. Kedua, dia hamil dan bersikeras mau pergi ke luar angkasa untuk bertemu dengan musuh kuat yang sama sekali tidak mereka kenal. Ketiga, dia melahirkan di dalam pesawat luar angkasa yang sedang terbang di luar atmosfer bumi. BAM! Insane!
Trust me, I love a powerful girl character. Buat beberapa orang Captain Marvel mungkin udah kelewatan kuatnya dan gak masuk akal, tapi somehow gue masih suka. Tapi yang satu ini… Come on! Rasanya kayak makan donat yang ditaburin kebanyakan gula tepung. Giung. Too much that it makes your stomach sick.
Seolah-olah penggambaran yang kelewat berlebihan ini, ingin membuat sebuah standar baru bagi para wanita: Bahwa wanita baru bisa dibilang hebat ketika dia bisa melakukan segalanya. Ya! SEGALANYA! Weleh weleh….
Dan masih ada beberapa adegan lainnya yang juga menurut gue too good to be true sampai di luar nalar. Misalnya, ketika semua orang menuntut Sue untuk menyerahkan anaknya pada Galactus, dengan mudah dia berhasil menenangkan massa hanya dengan sepotong pidato inspiratif. Wow! Mengingatkan gue pada ending film Snow White yang juga agak dipaksa ya… Beginikah standar wanita di zaman modern yang mereka coba tanamkan pada kita?
Now Let’s Talk About Rumi
On the other hand, Rumi adalah seorang K-Pop Idol yang *spoiler alert* terlahir setengah demon. Sejak awal karakternya sudah punya kelemahan dari lahir yang tidak bisa dia buang begitu saja. Dia harus menyembunyikan sebagian dari dirinya selama hidupnya.

Rumi punya vocal range yang luar biasa. Tapi kemampuan suaranya melemah seiring dengan tanda demon yang semakin melebar di tubuhnya. Rumi punya pedang yang bisa membunuh demon. Tapi takut rahasianya terungkap dan teman-temannya tidak bisa menerima dirinya yang sesungguhnya.
Dia punya kekuatan. Tapi dia juga punya kelemahan. What’s that reminds us of? Oh right! A normal human being…
Dia makan gimbap tanpa dikunyah. Mukanya jelek waktu dia kaget ditabrak orang. Dia menunduk minta maaf waktu ketahuan masuk ke kamar mandi cowok. Dia humble, tapi juga kuat. Dia enggak malu untuk minta bantuan cowok (– Jinu) ketika dia tahu dia akan kalah. Dia enggak menggambarkan supremasi wanita seperti yang ingin dicekokin banyak film dan series Hollywood pada kita. Tapi dia mengajarkan kita untuk berkolaborasi tanpa pandang gender. Bukankah itu makna feminisme yang seharusnya?
Tuntutan Kesempurnaan
Rumi dan Sue sama-sama superhero wanita dengan kekuatan super. Tapi penggambaran karakternya jauh berbeda. Yang satu bagaikan dewi tidak bercela. Yang lainnya seperti manusia biasa yang terus berjuang (– dan bisa kalah).
Sejujurnya, sebagai perempuan, gue lebih merasa relatable dengan Rumi. Ya iyalah, karena gak ada satu pun manusia di muka bumi ini, wanita atau pria, yang mampu melakukan SEGALANYA. Gak ada!

Tapi kenapa ya, feminisme zaman sekarang lebih banyak digambarkan seperti Sue Storm? Seorang karakter She-Boss yang kuat dan sempurna. Memangnya kenapa kalau perempuan kuat juga punya kelemahan? Apa itu bikin dia jadi kurang feminis?
Let me ask you this girls. Aren’t you tired of trying to be perfect all the time? Gue sih iya…
Kalau “bisa melakukan segalanya” ditujukan sebagai women empowerment, gue rasa efeknya malah akan backfire, karena pada akhirnya kita sebagai manusia biasa pasti ada gagalnya. Kita bukan sebuah karakter fiksi yang cuma muncul di layar selama 2 jam. Kita adalah manusia yang berjalan dan bernafas, berkeringat kalau kelelahan, dan sakit kalau kecapekan.
Ketika kita dituntut – atau menuntut diri kita sendiri – untuk jadi sempurna, yang ada kita sendiri yang akan kelelahan karena mengejar sesuatu yang tidak akan pernah bisa dicapai. Buat gue, itu bukan empowerment. Notion itu tidak menguatkan. Malah melemahkan. Dan akhirnya bisa menjadi akar kehancuran buat diri kita sendiri nantinya.
Menurut gue, bentuk empowerment akan lebih baik digambarkan dengan menerima kekurangan kita atau jadi diri sendiri apa adanya dengan boleh bertingkah konyol kayak gini.

Apa salahnya kalau cewek makannya rakus? Boleh kan?!
Kalau cewek lagi malas dandan dan kelihatan jelek di muka umum? Ya gak apa-apa kan.
Kalau seorang ibu kelupaan masak bekal buat anaknya jadi harus beli di warteg? Ya gak masalah.
Kalau seorang wanita memilih untuk mencari nafkah buat keluarganya dan meninggalkan anaknya di bawah asuhan orang lain karena tuntutan hidup? Itu murni adalah hak dia untuk memilih.
Jadi perempuan…
Jadi perempuan itu sudah banyak sekali tuntutannya. Makanya, gak perlu deh ditambah lagi dengan notion “bisa melakukan segalanya”! Percayalah, selama kita masih manusia, suatu saat kita pasti harus memilih. Women cannot have it all! Neither can men. That’s the fact.

Jadi apapun pilihan hidupmu, lakukanlah itu dengan sebaik mungkin. Gak harus sempurna kayak Sue Storm juga gak apa-apa kok.
Mungkin kamu memilih untuk jadi ibu rumah tangga untuk mengurus anakmu. Gak apa-apa, jadilah ibu rumah tangga sebaik mungkin yang kamu bisa. Mungkin kamu memilih untuk jadi working mom demi mendukung finansial keluarga. Gak apa apa, bagilah waktumu sebaik mungkin. Mungkin kamu memilih untuk tidak punya anak karena alasan pribadi. Boleh, tetaplah berkarya dan hidupi hidupmu sebaik mungkin. Gak satu standar yang terbaik untuk semua orang. Setiap kita memiliki jalan kita masing-masing yang tidak perlu menuntut kita untuk memiliki segalanya.
Dan sudah saatnya juga kita mengubah persepsi kita tentang feminisme yang sesungguhnya. Bukan tentang kesempurnaan. Tapi tentang otentisitas.
Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!
Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!
Spread love,