Teater: Seni yang Mulai Terlupakan
Hari Sabtu minggu yang lalu, gue berkesempatan untuk menonton pertunjukan teater untuk pertama kalinya. Jujur saja, awalnya gue pikir ini cuma iseng belaka. Enggak ada ekspektasi lebih, hanya mencoba sesuatu yang baru saja dan kebetulan harga tiketnya juga terjangkau.
Pertunjukan teater yang gue tonton dimainkan oleh Teater Koma, sebuah kelompok teater yang sudah punya nama di Indonesia. Lakon yang dimainkan bertajuk Sampek Engtay, sebuah cerita cinta klasik dari negeri China.
Begitu masuk ke dalam hall pertunjukan, gue sempat terkagum karena bagian dalam hall dihias dengan lampion dan beberapa ornamen tradisional China yang sangat lekat dengan cerita yang akan dimainkan. Walaupun sederhana, sentuhan kecil ini sanggup memberikan impresi yang mendalam bagi para penonton yang baru saja masuk dan melangkah menuju tempat duduknya.
Pertunjukan dimulai. Gue pun dibuat kagum dengan alunan musik tradisional China yang digabungkan dengan alat musik tradisional Indonesia khas Sunda dan Betawi. Maklum, di sini ceritanya sudah diadaptasi ke tempat-tempat lokal, misalnya Engtay berasal dari Serang dan Sampek berasal dari Pandeglang dan mereka berdua bersekolah di Mangga Besar. Hahaha. Sangat kreatif!
Lebih lagi, cerita drama yang seharusnya menguras air mata ini malah dipenuhi dengan lelucon-lelucon segar yang membuat penontonnya menjadi tidak bosan sama sekali. Durasi pertunjukan yang selama 4 jam itu pun berlalu tanpa terasa. Gue benar-benar menikmati setiap adegannya, terutama melihat semua pemain Teater Koma yang sangat profesional dan memainkan peranannya masing-masing dengan penuh penghayatan.
Mungkin sudah saatnya kita mulai membuka pikiran untuk hal-hal yang dinilai sudah ketinggalan jaman ya. Misalnya, ketika gue mengajak teman-teman untuk menonton teater, tanggapan yang diberikan mayoritas bersifat negatif. Misalnya: “Males ah nonton begituan”, “Ngapain sih nonton itu, itu kan udah jadul banget”, “Yang begitu mah palingan juga bikin bosan”, dan lain-lain. Tapi ternyata, bentuk hiburan seperti ini masih bisa dikemas dengan menarik loh. Dan cukup mengena juga bagi orang muda jaman sekarang yang notabene lebih modern daripada kakek-nenek kita.
Mengutip curhat Siukiu dalam lakonnya di cerita tersebut, dia terpaksa menjadi agen asuransi merangkap aktor teater karena teater jarang manggung di sini. Walaupun kalimat tersebut dibacakan sebagai sebuah lawakan, mungkin kita pun sebagai generasi muda seharusnya mulai berkaca. Sudah waktunya kita mulai mengisi otak kita dengan sesuatu yang lebih berbobot. Daripada hanya menghabiskan waktu untuk menonton TV atau menghabiskan uang dengan belanja di mal, hal-hal yang kita beri label “KUNO” mungkin bisa membawa perspektif yang baru dalam hidup kita dan menjadikan pemikiran kita lebih dewasa.
Spread love, not hatred…
hiLda