Too Many Choices: Our Current Dilemma
Sadar gak? Dunia yang kita hidupi sekarang ini jauh berbeda dengan dunia yang kita hidupi 10 tahun yang lalu. Dengan adanya revolusi teknologi, apapun yang kita pengenin sekarang bisa kita dapatkan dengan mudah.
Kalau dulu lo pengen beli Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih, lo harus sediain waktu khusus untuk pergi ke sana dan ngantri. Sekarang, kalau lo lagi malas keluar rumah, lo tinggal buka aplikasi di HP lo dan order aja. Duduk manis dan tunggu makanan datang. Kalau dulu lo harus tulis surat panjang lebar untuk berkomunikasi sama saudara di luar negeri, sekarang lo bisa video call sama mereka langsung dari HP lo sendiri tanpa perlu pergi ke kantor pos dan nempelin perangko.
Dunia sekarang sangat mudah dan simpel. Bahkan kemudahan itu enggak datang dalam satu bentuk doang. Misalnya, kalau lo mau beli makanan, lo bisa beli pakai Go Food atau Grab Food. Dua-duanya sama. Tinggal yang mana aja yang kasih promo lebih besar. Kalau lo mau bayar dengan mudah dan dapat banyak cashback, lo bisa pakai Go Pay, Ovo, Dana atau berbagai aplikasi e-payment lainnya.
Bisa dibilang kita nih sekarang dimanjakan banget dengan adanya sekian banyak fasilitas gratis yang bisa kita dapatkan lewat teknologi. Hidup jadi lebih mudah. Kalau hidup jadi lebih mudah, maka hidup jadi lebih bahagia. Begitu logikanya. Tapi bener gak ya?
Sejujurnya, gue sendiri suka ngerasa bingung. Dengan kemudahan akses, kemudahan informasi dan kemudahan komunikasi sekarang ini, kok malah hidup terasa lebih berat daripada zaman dulu ya? Kayaknya kita jadi lebih gampang dibuat bingung dengan adanya begitu banyak pilihan dan informasi yang ada di sekitar kita.
Contoh nih ya. Kalau jaman dulu gue mau beli martabak, gue pasti beli dari abang martabak di sebelah rumah gue. Gue gak akan bingung sama pilihan martabak-martabak lainnya. Karena gue tahu bikinan si abang enak, dan itu udah cukup buat gue. Gue gak akan berpetualang sampai ke kota sebelah cuma buat beli martabak yang dibilang enak sama influencer tertentu. Atau martabak kekinian lainnya yang tempatnya kece dan Instagrammable.
Tapi sekarang, kalau gue mau beli martabak, yang pertama kali bakal gue buka adalah aplikasi Go Food atau Grab Food. Di sana gue akan cari martabak mana yang lagi promo. Tapi kemudian gue akan galau. Apa martabak ini beneran enak? Kok bisa dia promo murah banget?
Maka gue akan buka lagi aplikasi Zomato (– atau sejenisnya), untuk cari tahu rating tukang martabak ini. Kalau ternyata rating-nya kurang bagus, gue bakal balik lagi cari martabak lain yang promonya sedikit lebih kecil tapi rating nya lebih baik.
Proses ini akan gue ulang terus sampai pada beberapa kemungkinan. Pertama, gue menerima aja pilihan martabak dengan promo terbaik tapi mungkin kurang enak karena rating nya jelek. Kedua, gue berusaha cari martabak yang promonya cukup bagus dan rating nya juga lebih bagus tapi kelaparan sambil terus cari. Ketiga, akhirnya gue menyerah aja deh beli martabak dan memilih beli gorengan aja. Tapi kalau gue beli gorengan, proses ini akan gue mulai lagi dari nol dong?! Melelahkan!!
Well… Intinya, dunia yang kita hidupi sekarang ini menawarkan begitu banyak pilihan buat kita. Gak jarang, kita jadi kehilangan arah karena saking banyaknya pilihan yang ada. Kita jadi bingung mau ke mana. Kita jadi terombang-ambing karena gak punya arah tujuan. Atau, bisa juga karena terlalu banyak pilihan, kita jadi bingung dan akhirnya menyerah, malah enggak melakukan apa-apa. Yang mana pun, tetap aja enggak baik hasilnya.
Choices are good. But we still need to know where we want to go. Kalau kita enggak punya titik tujuan akhir, kita akan gampang banget berbelok ketika kita dikasih pilihan yang sekilas kelihatan lebih bagus padahal belum tentu pilihan itu bakal ngebawa kita sampai ke tujuan akhir kita.
So, yes, we have too many choices now. Semuanya gampang banget untuk didapat. Tinggal kitanya aja yang harus jadi lebih bijaksana untuk memilih mana yang baik buat kita.
Belum tentu apa yang menurut orang lain baik, juga baik buat kita. Sama kayak martabak yang menurut influencer tertentu enak, belum tentu enak juga buat gue. Jadi, kita harus semakin punya pendirian yang teguh supaya pilihan-pilihan kita tetap membawa kita kepada tujuan kita. Sama kayak gue yang pada akhirnya tetap memilih tukang martabak di sebelah rumah aja, karena gue cuma butuh cemilan ringan yang cepat dan enak. Gue gak perlu martabak dengan rasa yang fancy atau tempat yang instagrammable. Jadi martabak abang sebelah rumah yang sederhana aja udah cukup buat memuaskan rasa lapar gue.
Dan kalau aja gue memutuskan ini sebelumnya, gue gak perlu menghabiskan banyak waktu untuk galau milih martabak mana yang mau gue beli. Let’s learn from my mistake. And take these too many choices more wisely.
Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!
Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!
Spread love,