Your Job Doesn’t Define Who You Are
Berapa lama rata-rata lo bekerja dalam satu hari? 8 jam? Atau lebih kalau lagi sering lembur? Gak bisa dipungkiri, pekerjaan kita pastinya menyita mayoritas waktu yang kita punya dalam satu hari. Ketika kita menginvestasikan begitu banyak waktu pada suatu hal, otomatis dengan mudah kita mengasosiasikan siapa diri kita pada hal itu. Apalagi ditambah dengan “ajaran” pop culture modern kayak begini:
Work until you no longer have to introduce yourself
– Anonymous
Pekerjaan kita akhirnya menjadi lebih dari sekedar pekerjaan. Pekerjaan kita menjadi tujuan hidup kita. Lebih dari itu, pekerjaan kita menjadi bagian dari identitas diri kita (– bagian yang BESARRRRR dalam identitas diri kita). Sehingga, kita hanya merasa diri kita berharga ketika kita memiliki pekerjaan yang hebat. Sebaliknya, kita merasa diri kita enggak ada artinya kalau pekerjaan kita biasa-biasa aja. Padahal, the truth is, siapa diri kita lebih dalam maknanya daripada hanya apa yang kita kerjakan sehari-hari.
Things I’ve Lost After I Resign My Old Job
Dulu gue pernah bekerja di sebuah perusahaan consulting multinational. Karir gue lumayan bagus sampai pada satu titik gue mempertanyakan tujuan gue bekerja di sana. And I really feel that I’m lost. Karena gue gak bisa melihat tujuan akhir gue di perusahaan itu. Bekerja di sana sangat menyita banyak waktu gue sementara gue merasa arah karir gue di perusahaan itu enggak sejalan sama cita-cita gue. Akhirnya gue memutuskan untuk resign.
Suatu hari, setelah gue resign (– dan lagi sibuk nulis novel waktu itu), gue diundang untuk datang ke sebuah acara sama teman kantor gue yang dulu. Dia menjadi pembicara di sebuah acara perusahaannya untuk membicarakan tentang teknologi yang sedang mereka kembangkan. Karena sejak resign gue jadi punya banyak waktu luang, gue datang lah ke acara itu.
Begitu masuk ke ruangan, ada meja registrasi tempat para tamu menuliskan nama dan kontaknya di buku tamu. Gue menuliskan nama gue di buku itu. Tapi gue terdiam ketika sampai di bagian field ini:
- Company: _____
- Position: _____
- Office Email: _____
Wow. I no longer have any fancy things to fill out those fields. 😭
Dan seketika itu juga gue agak menyesali pilihan gue untuk resign. Karena baru gue sadar saat itu, bahwa setelah resign gue enggak hanya kehilangan pekerjaan membosankan yang menjadi rutinitas gue setiap hari, tapi juga sebagian dari identitas diri gue: jabatan gue dan perusahaan gue yang selama ini (– ternyata) menjadi kebanggaan gue.
I’m A Stay-At-Home-Mom And I Once So Embarrassed For That Title
Kenapa? Karena jadi stay-at-home-mom itu sangat gak keren menurut gue.
Dulu, sebelum gue melahirkan (– dengan segala komplikasinya yang bikin gue hit rockbottom), gue pikir gue akan bisa jadi penulis sambil ngerawat anak di rumah. Itu cita-cita gue. Gue pengen hadir buat anak gue. Tapi gue gak mau berhenti berkarya. Gue udah berencana bikin novel trilogi. Bahkan sampai saat-saat terakhir sebelum gue terpaksa operasi cesar, gue masih nulis sekuel novel gue yang dulu.
Tapi rencana tinggal rencana. Karena ternyata ngerawat anak di rumah itu menyita banyaaaaaaakkkk sekali waktu. Jauh lebih banyak waktu daripada kerja kantoran. Karena kayaknya pekerjaan yang satu ini gak ada work hour nya. Alias harus dilakukan 24/7. Apalagi di tahun pertama si anak. Sangat melelahkan!
Dengan idealisme gue, gue menolak untuk punya nanny. Dengan alasan gue pengen selalu ada buat anak gue di tahun-tahun pertamanya. Karena gue gagal untuk ada buat dia di bulan pertama kehidupannya. Jadi mau gak mau, gue mendedikasikan seluruh waktu gue jadi stay-at-home-mom. Rasanya tuh kayak membuang gelar sarjana gue, pengalaman kerja gue, dan semua cita-cita gue ke tong sampah. Sangat bertentangan dengan apa yang gue bayangkan.
Dan gue merasa malu. Ya, gue pernah malu karena memilih jalan hidup ini. Padahal ini pilihan gue. Gak ada yang maksa gue melakukan ini. Tapi karena citra seseorang yang sukses itu sangat jauh dari pakai baju rumah seharian dan belepotan bekas makanan (– bahkan bekas muntahan), gue selalu merasa diri gue kurang. Gue merasa gue gak oke. Gue merasa gue gagal.
I Am Who I Am
It took me years to find peace! Tiga tahunan lah kira-kira sampai akhirnya gue berdamai sama diri gue sendiri.
Gue berusaha mencari keseimbangan. Di mana apa yang pengen gue lakukan untuk diri gue dan apa yang anak gue butuhin dari gue bisa mencapai titik equilibrium. Seiring anak gue bertambah besar, dia belajar untuk semakin mandiri. Sehingga sedikit demi sedikit gue bisa kembali mendedikasikan waktu buat diri gue sendiri. Kayak memulai bisnis kecil-kecilan dan nulis di blog ini supaya otot-nulis gue enggak kendor.
Sekarang gue tahu bahwa apa yang gue lakukan sehari-hari, alias pekerjaan gue, enggak mendefinisikan siapa diri gue. Siapa gue adalah jauh lebih rumit dan dalam daripada apa yang gue lakukan, dan untuk apa gue mendapatkan bayaran (– atau gaji). Siapa diri gue adalah gimana pola pikir gue, gimana gue bertindak, dari mana gue berasal, siapa keluarga gue, dan masih banyak lagi. So now I’m a happy mom, entrepreneur and storyteller who also like traveling and eating good food. And I’m proud of it. I’m no longer embarrassed of it. Even though I don’t have any fancy business card that has my name on it.
Apa yang gue kerjakan enggak mendefinisikan siapa diri gue. Gaji yang gue terima enggak mendefinisikan harga diri gue. Kehebatan gue enggak hanya diukur dari berapa penghasilan tahunan gue. Kekuatan gue enggak ada hubungannya dengan perusahaan apa yang membayar gue, seberapa banyak orang yang baca blog gue, atau sebagus apa mobil gue.
I am who I am. And if anyone wants define me so shallow like that, well, maybe they just don’t know me enough. And if they don’t know me that much, must their point of view even bother my life? I think not!
So, friends… Apapun pekerjaan lo sekarang, jangan menjadikan itu satu-satunya cara lo untuk mendefinisikan diri lo. Ya, pekerjaan kita adalah bagian dari identitas kita. Tapi bukan satu-satunya. Jika apa yang kita lakukan sekarang jauh dari citra “sukses” dan “glamor” yang dipercaya adalah kondisi ideal oleh banyak manusia modern jaman sekarang, gak perlu jadi berkecil hati. We’re not a loser for doing what we want to do. Because how much we worth is not equal to how much we paid. And what we do is not equal to who we are.
Thanks for reading this! Kalau kamu suka sama artikel ini, jangan lupa untuk share ke teman-teman kamu ya!
Leave your comment below. Dan follow juga Instagram @just.hilda untuk selalu dapat update terbaru dari blog Just Hilda. Jangan lupa share artikel ini ke teman-teman kamu juga ya!
Spread love,
2 Comments
Aminnatul Widyana
4 years agoWah, kebalikan aq nih. Dulu aq jd full mom selama 6 tahun pertama pernikahanku. Sampai2 dihujat sm tetangga & keluarga sbg orang yg gagal. Duh, nyesek banget rasanya… Akhirnya aq memutuskan utk kembali bekerja..
hiLda
4 years agoEmang kalau ngikutin omongan orang gak ada abisnya ya, Mom. Yang penting kitanya sendiri punya kepuasan batin sendiri aja atas kehidupan kita deh. Apapun pilihan hidup kita, yang penting kita yang memutuskan atas dasar kesadaran dan keinginan diri sendiri, bukan karena desakan pihakan ketiga. 😉👍🏻